Oleh : Nasrullah
Andai saja pengetahuan yang kita dapatkan di sekolah tingkat lanjutan pertama (SMP) betul-betul ditekuni, tentu tidak akan banyak salah kaprah dalam pemahaman keilmuan setelahnya.
Refleksi yang berasal dari pengalaman subyektif itu selalu muncul dalam pikiran saya setiap 1 Muharram. Bagi saya, 1 Muharram tidak hanya sekedar tahu baru Islam, juga sebagai reminder (pengingat) akan satu estafet keilmuan melalui momentum mendaftar sebagai siswa baru di SMPN 1 Kuripan.
Inilah institusi sekolah tertinggi di kecamatan Kuripan Kabupaten Barito Kuala pada awal tahun 1990an. Sebuah tempat yang sangat jauh karena keterbatasan akses disebut dengan istlilah “si puting dunia” (ujung dunia) oleh Profesor Rizali Hadi atau “Di Langit Banganga” oleh Datu Taufik Arbain.
Reminder Estafet Keilmuan
Entah kenapa moment 1 Muharram yang selalu menyertai peristiwa mendaftar sebagai siswa baru, bukan pada penanggalan bulan Masehi.
Meskipun tidak ada peristiwa tradisi keislaman yang begitu melekat baik saat mendaftar sebagai siswa baru atau selama masa sekolah tersebut, bahkan selebihnya saya menikmati kehadiran budaya pop pada era 90an.
Waktu itu merupakan masa kejayaan imaginasi yang dilukis oleh selebrasi estetika audio melalui siaran radio, hingga kaset tape hingga awal mula karaoke. Lagu dangdut, musik rock hingga serbuan lagu-lagu Malaysia yang mendayu-dayu seperti “Suci dalam Debu”, “Isabella”, hingga duet Amy Search dan Inka Christie dalam lagu “Cinta Kita” sangat begitu dominan.
Sepertinya imaginasi visual melalui audio inilah membantu mengingatkan saya melakukan refleksi keilmuan dari apa yang saya dapatkan selama sekolah menengah pertama. Pun, 1 Muharram inilah selain sebagai reminder (pengingat) awal masuk sekolah, sekaligus membuka pintu refleksi tentang keilmuan yang didapatkan ketika sekolah menengah pertama masih kuat dalam ingatan saya.
Saya ingin menyebutkan tiga hal, tanpa mengabaikan yang lain, sebagai bagian dalam refleksi keilmuan tersebut.
Refleksi Keilmuan Pertama mata pelajaran geografi. Selama sekolah menengah pertama, pelajaran geografi yang masih kuat dalam ingatan saya adalah nama-nama daerah. Misalnya, Ibu Rabiatul, guru geografi mengajarkan nama-nama negara bagian Malaysia seperti Pahang, Trengganu, Johor, Negeri Sembilan, Kuala Lumpur, Kelantan, Kinabalu. Ini terlihat sederhana, tetapi kemudian menyadarkan saya pada pelajaran tersebut ketika saya mengunjungi Kuala Lumpur dan beberapa negara bagian.
Lebih dari itu, saya pun selalu teringat pelajaran geografi semasa SMP setiap mendapati kesalahan pengetikan dan penyebutan nama daerah oleh media televisi nasional bahkan lokal. Kalau kesalahan itu terjadi, saya selalu bertanya, “kesalahan menyebutkan tempat tersebut, apakah wartawan dan redaktur tersebut tidak menyimak pelajaran geografi mereka di masa SMP”. Terlebih lagi di masa sekarang, untuk memastikan nama daerah bisa dicek melalui mesin pencari di internet kesalahan itu bisa ditekan serendah mungkin.
Kedua, pelajaran Biologi juga menjadi penting bagi saya terutama menyadarkan saya ketika menghadapi ujian keilmuan. Demikian pula akan terasa aneh ketika mendapati mahasiswa yang selalu gugup menjelang ujian skripsi, padahal tentu rasa gugup, takut dan sebagainya ketika diuji adalah perasaan normal.
Namun pelajaran biologi mengingatkan saya akan tahapan ilmiah. Dalam ruangan laboratorium di sekolah, meski peralatan banyak yang tidak berfungsi dan kami hanya menggunakan mikroskop untuk praktek. Guru biologi kami, Pak Johan, selalu mengingatkan tahapan ilmiah tersebut salah satunya adalah siap dipertanggung jawabkan atau diuji temuan kita.
Artinya dari pelajaran SMP itu saja dapat menjadi bekal kuat di tingkat perguruan tinggi. Jika sebuah karya tulis berlabel “ilmiah” entah dalam bentuk artikel, makalah, skripsi, tesis bahkan disertasi, maka “diuji” bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Namun rupanya pelajaran dasar tingkat SMP itu tidak kita bahwa hingga perguruan tinggi. Akibatnya pada tahapan ujian sering ditafsirkan sebagai cobaan atau penderitaan bukan sebagai sebuah selebrasi keilmuan untuk mengukur kemampuan kita, menerima perbaikan, dan mendapatkan terobosan keilmuan.
Ketiga pelajaran matematika, meski tidak benar-benar terkait dengan matematika. Pak Jaini, guru matematika saya yang minggu lalu berpulang ke rahmatullah, semoga menjadi amal jariyah bagi almarhum, selalu mengingatkan untuk membuat daftar kegiatan dan menjalankannya sesuai jadwal yang dibuat tersebut.
Pesan beliau tersebut selalu melekat dalam ingatan dan terus saya praktekkan. Al hasil, saya jarang sekali terlambat dalam mengumpulkan tugas sekolah hingga kuliah bahkan dalam berbagai laporan sebab tugas tersebut terjadwal sejak jauh-jauh hari dan saya kerjakan sedikit demi sedikit.
Dalam beberapa kesempatan, saya acapkali mengalami hambatan yang tidak terduga dan nyaris tidak bisa mengumpulkan tugas atau pekerjaan tepat waktu. Namun jadwal itu sangat membantu. Begitu menjelang masa tenggat waktu, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang benar-benar terdesak (deadline) karena, sekali lagi, telah dikerjakan jauh-jauh hari.
Oleh karena itu, pelajaran tingkat sekolah lanjutan pertama itu telah meletakkan pondasi dasar bagi keilmuan hingga perguruan tinggi. Agaknya jika hal tersebut benar-benar dipedomani, tak peduli lulusan dari sekolah paling terpencil sekalipun, kita akan siap menghadapi pendidikan tingkat perguruan tinggi hingga dunia kerja.
Oleh karena itu, dari sekolah manapun atau seterpencil apapun letaknya bukanlah menjadi tolak ukur, tetapi yang terpening adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang didapatkan selama sekolah tersebut terus melekat dalam diri kita.
Akhirnya salam hormat untuk seluruh bapak dan ibu guru saya di SMPN 1 Kuripan yang telah meletakkan pondasi keilmuan yang sangat berguna hingga sekarang dan akan datang. Selamat tahun baru Islam, 1 Muharram 1443 H.
Penulis adalah Alumni SMPN 1 Kuripan. Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM