Achmad Ratomi: Mogok Hak Pekerja, Asal tak Anarkis

by baritopost.co.id
0 comments 3 minutes read

Walhi Sampaikan Mosi tidak Percaya

Banjarbaru, BARITO – Dosen Hukum Pidana Universitas Lambung Mangkurat  Achmad Ratomi menegaskan, aksi mogok ataupun unjuk rasa merupakan hak pekerja. Aksi tersebut juga tidak ada diatur dalam hukum pidana.

Sehingga unjuk rasa ataupun aksi mogok dapat dilakukan pekerja, baik dengan pemberitahuan atau tanpa pemberitahuan kepada pihak aparat. Namun,  jika tidak ada pemberitahuan, maka terdapat konsekuensi hukum dari segi administrasi.

“Mogok itu hak pekerja. Tidak ada pengaturannya dalam hukum pidana, sebab hak itu merupakan hak asasi yang ada dalam  UUD 45 dan UU Nomor.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,’’ ujarnya kepada barito Post. Selasa (6/10).

Bahkan, tegas Ratomi  tidak ada sanksi pidana bagi massa yang tidak menyampaikan pemberitahuan kepada aparat tentang rencana aksi mereka.

“Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila di dalam unjuk rasa itu mengandung anarkis.Misalnya, terjadi perusakan barang fasilitas umum atau pribadi. Dan. terjadi pemukulan terhadap aparat,  masyarakat lain atau sesama pengunjuk rasa,’’ jelasnya.

Disebutkan, yang dapat dikenakan terhadap pelaku perusakan atau pengeroyokan secara bersama-sama adalah Pasal 170 KUHP.jika tersangka lebih dari dua orang/ bersama-sama.

Ratomi  juga menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 9/1998,  petugas boleh membubarkan unjuk rasa. Aparat juga berhak membubarkan unjuk rasa jika melewati batas waktu, meski unjuk rasa tersebut sudah ada pemberitahuan sebelumnya.

“Kalaupun seandainya unjuk rasanya ada pemberitahuan, tetapi aksinya melewati batas waktu yaitu pukul 18.00, aparat  berhak membubarkan,” tandasnya.

Berkait aksi unjuk rasa dan mogok pekerja di beberapa daerah di Indonesia menyikapi UU Omnibus Law Cipta Kerja, dia mengatakan, serikat buruh boleh unjuk rasa atau mogok kerja sepanjang tidak melakukan tindakan anarkis.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel  Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, pihaknya masih melihat situasi dan kondisi di Kalsel pasca pengesahan UU Omnibus Law.

“Kami masih melihat situasi dan kondisi, beberapa aktivis Walhi memang ada yang tergabung dalam aliansi pekerja maupun mahasiswa.Tetapi, yang jelas, Walhi menolak UU tersebut dan menyatakan mosi tidak percaya,” ujarnya.

Walhi juga menyampaikan siaran pers melalui Direktur Eksekutif Nasional Nur Hidayati yang menyebut bahwa  masifnyagelombang penolakan rakyat selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja seharusnya membuat presiden, DPR hingga DPD membatalkan proses pembahasan, bukan malah bersepakat dan mengesahkan RUU Cipta Kerja.

“Pengesahaan RUU yang pada draft awal disebut dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka menjadi cermin kemunduran demokrasi yang akan membawa rakyat dan lingkungan hidup pada keadaan cilaka sesungguhnya,” ujarnya secara tertulis.

“Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan lingkungan hidup merupakan tindakan inkonstitusional.Hal ini yang membuat kami menyatakan mosi tidak percaya kepada Presiden, DPR dan DPD RI. Satu-satunya cara menarik kembali mosi tidak percaya yang kami nyatakan ini hanya dengan cara negara secara sukarela membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja,”  tambah Nur Hidayati.

Walhi mencatat beberapa hal krusial dalam ketentuan RUU Cipta Kerja terkait isu agraria.

Ketentuan ini, menurut dia, semakin melanggengkan dominasi investasi dan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup.

“Beberapa hal krusial tersebut, yaitu penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, reduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi hingga perpanjangan masa waktu perizinan kehutanan dan perizinan berbasis lahan. Mirisnya, RUU cipta kerja justru mengurangi dan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan kegiatan usaha,” urainya.

Dengan demikian, menurutnya, Walhi secara tegas menjatuhkan mosi tidak percaya dan mengambil sikap : 1.Mengecam pengesahan RUU Cipta Kerja, 2.Menyatakan pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan tindakan inkonstitusional dan tidak demokratis yang harus dilawan dengan sehebat-hebatnya; 3.Menyatakan pengesahaan RUU Cipta Kerja merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang abai pada kepentingan hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 4.Menyatakan pengesahaan RUU Cipta Kerja merupakan bentuk keberpihakan negara pada ekonomi kapitalistik yang akan memperparah kemiskinan dan hilangnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 5.Mengajak seluruh elemen rakyat untuk menyatukan barisan menolak serta mendorong pembatalan RUU Cipta Kerja.

Penulis: Cynthia

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment