Oleh : M. Syarbani Haira *)
Hiruk pikuk dunia politik karena Pilkada dan PSU di Bumi Antasari ini beberapa waktu lalu, berdampak terhadap eksistensi NU (Nahdlatul Ulama). Pertama, karena kepemimpinan tanfidziah PWNU Kalimantan Selatan sejak sekitar bulan September 2020 lalu sedang dilanda kevakuman, yang berlanjut munculnya beda tafsir antar sesame pengurus dalam menyikapi keadaan .
Kedua, karena kepemimpinan syuriah yang cenderung wait and see, padahal jumlah mereka hampir 20 orang. Ini belum termasuk jajaran a’wan yang tugas utamanya membantu syuriah, pemimpin tertinggi di lingkungan NU, pun tak jalan. Ketiga, kalangan musytasar pun seperti tak berdaya, jika tak disebut memang tak diberdayakan. Padahal lembaga ini terdiri dari para tokoh, ulama, akademisi, birokrat, aktivis, politisi, dsb. Mereka bisa saja mengadakan sidangnya sendiri untuk memberi masukan yang terbaik buat jam’iyah.
Akibatnya, perjalanan NU seperti bola liar, yang bisa melambung kesana kemari, tanpa kendali organisasi. Alhamdulillah, meski agak telat, hanya dalam hitungan hari pasca PSU gubernur, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) akhirnya menunjuk Ketua Tanfidziah PWNU yang baru, Sahabat Dr. KH. Hasib Salim, MAP (mantan Ketua PCNU HSU). Ia menggantikan mandataris Konferwil PWNU Kalsel Desember 2017, Drs. HA. Haris Makkie, M.Si, generasi penerus NU yang taat pada AD/ART NU, sehingga ia harus mundur sebagai pimpinan NU, karena mencalonkan diri dalam Pilwali Kota Banjarmasin 2020 silam.
Respon public pun beragam. Tapi umumnya konstruktive. Ini terlihat dari ucapan selamat yang disampaikan, baik melalui poster yang dipublish, atau yang terpajang di tepi-tepi jalan. Misalnya Pemerintah Kabupaten HSU di bawah pimpinan bupatinya Dr. H. Abdul Wahid HK, salah satu di antara yang merespon positive. Begitu juga dengan Bupati Rantau, Kepala Kementerian Agama RI Kalimantan Selatan, serta hampir semua kepala Kemenag se Kal-Sel. Baliho besar nampak juga terpampang di seputar kilometer 11, ucapan selamat dari kolega Hasib Salim di partai politik di mana kini ia sedang berkarya, yakni H Mardani H Maming sebagai Ketua Umum BPP HIPMI. Tentu saja hampir semua Ketua Tanfidziah PCNU se Kalsel pun serta merta mengucapkan selamat pada Hasib Salim, yang saya tau sejak masih di Sekolah Rakyat dulu ia sudah kerap diajak orangtuanya dalam event-event NU.
Bagi saya pribadi, meski secara AD/ART NU bisa saja diperdebatkan, namun Sahabat Hasib Salim menjadi pilihan terbaik saat ini buat menyelamatkan NU. Hasib Salim memiliki kriteria kepemimpinan dalam perspective Islam, yang diwariskan rasulullah. Misalnya sifat fathonah (cerdas), sifat amanah (dapat dipercaya), sifat tabligh (menyebarkan kebenaran), dan sifat siddik (jujur). Empat karakter ini modal dasar bagi kepemimpinan muslim, termasuk NU, terlepas beliau sebagai manusia tentu masih punya kelemahan. Namun secara umum karakter tersebut masih melekat di dalam dirinya.
Maka itu saya optimistic NU Kalsel dengan sisa waktu yang ada, akan ada pembaharuan kelembagaan (al-jam’iyah), pembaharuan visi misi , serta pembaharuan harokah (gerakan). Dengan karakternya, jika misal di lingkungan NU itu masih ada kaum pragmatis, tentu ia akan mudah mengatasinya. Sejumlah bengkelai yang hingga kini belum berhasil diselesaikan oleh PWNU Kalsel sebelumnya, tentu semuanya akan menjadi prioritas kerja bagi seorang Hasib Salim dalam mengemban amanah organisasi dan kepemimpinan NU di Banua ini.
Ditunjuknya Hasib Salim untuk menakhodai jam’iyah NU di banua ini tak ada kaitan dengan polarisasi politik mana pun. Tak ada kaitan dengan intrik politik yang muncul dan berkembang di luar urusan NU. Hasib Salim dipercaya karena semata hanya untuk menyelamatkan NU, semata urusan nahdliyin. Ia pun sudah melepaskan sejumlah jabatan di institusi-institusi politik. Bahwa yang bersangkutan masih bertahan menjadi wakil rakyat di DPRD Kalsel, itu ada plus minus-nya. Minusnya, ia akan dicap masih berpolitik, bisa saja ini dianggap bertantangan dengan AD/ART NU. Plusnya, ia bisa berkarya untuk kemajuan NU. Posisinya sebagai anggota DPRD memudahkan bagi NU melakukan gagasan pembangunan, khususnya di lingkungan NU. Misalnya mengusahakan pendirian rumah sakit NU, atau minimal mendirikan klinik kesehatan. Kemudian bisa menyelesaikan aset-aset (tanah) NU yang terbengkelai, yang tersebar dan belum terurus dengan baik. Memperkuat SDM banua, dan sebagainya. Maka itu saya masih responsive pada dia dalam hal kepemimpinan NU untuk saat ini.
Memang, dalam hal hubungan antar manusia, saya bisa saja berbeda pendapat dengannya. Namun dalam hal watak dasar semangat memajukan NU, saya punya mainstream yang sama. Terlebih relasi kami sudah berlangsung sejak zaman masing-masing orang tua kami sama-sama active di Partai NU di tahun 1960 hingga awal tahun 1970-an. Hal yang unik dan tak bisa kami lupakan, para orang tua kami di zaman active di Partai NU pernah sama-sama berurusan dengan aparat negara, bahkan sempat “nginap di hotel prodeo” beberapa hari. Ini memang watak buruk penguasa orde baru, yang bisa saja menahan orang tanpa proses hukum. Model-model begitu banyak sekali melanda para aktivis NU tempo doeloe.
Apa yang kini dipunyai oleh seorang Hasib Salim bisa dikatakan merupakan modal dasar buat menata kembali jam’iyah NU, yang memang masih jauh tertinggal dibanding dengan jam’iyah NU di Pulau Jawa. Maka itu, lupakanlah perbedaan politik. Berkaryalah dengan bukti yang nyata buat umat. Tinggal bagaimana Sahabat Hasib Salim merapikan beragam opini dan aspirasi yang berkembang di lingkungan jam’iyah NU, baik yang berada dalam structural pengurus mau pun yang berada di eksternal pengurus.
Langkah terbaik dan brilliant adalah jika Sahabat Hasib Salim mau memperlihatkan karya nyatanya buat warga nahdliyyin dan umat Islam di banua ini. Misalnya menyelesaikan rehabilitasi Kantor PWNU yang ada di Jalan Hasanuddin HM sebagai prioritas utama. Selain itu berkarya dalam bentuk lain, seperti pendirian klinik kesehatan, jika memang belum mampu membangun rumah sakit. Pendirian SMK di tiap kabupaten, yang dananya bisa menggunakan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk urusan perguruan tinggi sudah tak lagi menjadi beban pengurus, meski sesungguhnya banyak hal yang belum dipenuhi sesuai ketentuan.
Jika hal seperti ini bisa dilakukan, maka suara-suara minor yang mungkin muncul dari berbagai sudut lorong pada akhirnya akan sirna sendiri. Karena suara-suara minor itu dijawab melalui karya nyata, amal usaha. Dengan potensi serta relasi yang luas dari seorang Hasib Salim, saya yakin ia bisa mengatasinya, sehingga sengkerut yang hingga hari ini belum teratasi dengan baik, bisa dieliminasi. Apalagi ia tak sendiri, ia sudah punya tim khas. Ini merupakan pertanda, angin segar yang terus berembus dengan sejuk dari berbagai mata angin. Maka itu, harusnya jam’iyah NU bisa semakin Maju dan Berjaya. Apalagi dalam hitungan waktu yang sangat dekat, NU akan memasuki Era Satu Abad tahun 2026 mendatang. Wallahu’alam bissawab … !!!
*) Dosen Senior Universitas NU Kalsel