Akhir-akhir ini dunia maya banyak dimunculkan informasi dan berita palsu atau lebih dikenal dengan istilah “hoax” oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab.
Jika tidak ada kehati-hatian, netizen pun dengan mudah termakan tipuan hoax tersebut bahkan ikut menyebarkan informasi palsu itu, tentunya akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah. Lalu bagaimana caranya agar tak terhasut ?
Hati-hati dengan judul provokatif.
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax. Oleh karenanya, apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya Anda mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya Anda sebabagi pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.
Cermati alamat situs.
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan.
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
Periksa fakta.
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya. Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri. Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.
Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.
Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.
Cek keaslian foto.
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Ikut serta grup diskusi anti-hoax.
Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage dan Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
Lantas bagaimana cara melaporkan berita atau informasi hoax ?
Apabila menjumpai informasi hoax, lalu bagaimana cara untuk mencegah agar tidak tersebar. Pengguna internet bisa melaporkan hoax tersebut melalui sarana yang tersedia di masing-masing media. Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur Report Status dan kategorikan informasi hoax sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lain yang sesuai. Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status tersebut.
Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan twit yang negatif, demikian juga dengan Instagram.
Kemudian, bagi pengguna internet Anda dapat mengadukan konten negatif ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melayangkan e-mail ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Masyarakat Indonesia Anti Hoax juga menyediakan laman data.turnbackhoax.id untuk menampung aduan hoax dari netizen. TurnBackHoax sekaligus berfungsi sebagai database berisi referensi berita hoax.
Pemerintah melalui Kominfo dan masyarakat yang peduli dengan persatuan Indonesia semakin sering menggaungkan pentingnya literasi digital, mengingat saat ini penyebaran berita hoax semakin menjadi-jadi, apalagi kalau sudah berkaitan dengan politik dan kesehatan.
Berita hoax, atau hoaks, adalah berita bohong yang kebenarannya harus dibuktikan dan diperiksa dulu melalui data dan fakta yang ada. Melihat dampaknya yang begitu berbahaya, berikut ini cara yang dapat dilakukan untuk menyikapi dan mengatasi berita hoax.
Cara Menyikapi dan Mengatasi Berita Hoax
Agar dapat menyikapi dan mengatasi penyebaran berita hoax, Anda perlu mengenali ciri-ciri berita hoax terlebih dahulu. Kemudian, menerapkan dan mensosialisasikan pentingnya literasi digital agar tidak jadi netizen sesat.
Jangan Mudah Terprovokasi dengan Judul Berita
Artikel dengan judul clickbait memiliki isi yang sama sekali tidak berhubungan dengan headline artikel. Berita semacam ini biasanya dibuat dengan tujuan tertentu, misal untuk mendongkrak jumlah visitor atau viewers, yang pada akhirnya berhubungan dengan seberapa banyak uang yang bisa didapatkan. Baca dan pahami dengan perlahan agar tidak terprovokasi. Biasanya, berita hoax menggunakan judul berita bertipe clickbait ini.
Bersikap Kritis terhadap Apapun yang Didapat
Seperti yang telah diketahui, siapapun bisa menulis berita di internet. Namun tak semua orang memiliki kapasitas serta tanggung jawab terhadap apa yang ditulis. Untuk itu anda harus mencari tahu apakah berita tersebut valid. Cara memeriksa valid tidaknya suatu berita, Anda bisa mencari referensi lain mengenai bahasan yang sama.
Utamakan Logika
Selanjutnya, selalu gunakan logika saat mendapati suatu berita yang belum diketahui kebenarannya. Seperti berita tentang konspirasi corona yang santer terdengar hingga broadcast yang menggiring opini agar masyarakat meninggalkan protokol kesehatan karena disebut bahwa corona hanya akal-akalan. Padukan dengan data dan jurnal ilmiah.
Sudah banyak contoh bahaya berita hoax Covid-19, sehingga anda perlu benar-benar menyikapinya dengan bijaksana dan mencegah penyebaran berita hoax tersebut supaya tidak semakin luas.
Lakukan Konfirmasi
Selalu tanyakan kepada lembaga yang bersangkutan. Lembaga profesional tidak akan mungkin sembarangan dalam menyampaikan berita kepada masyarakat. Tak ada salahnya jika Anda mem-follow akun-akun media sosial yang memang sudah terpercaya dalam menyampaikan konten.
Laporkan Konten yang Mengandung Hoax
Cara mengatasi berita hoax yang cukup efektif adalah melaporkannya kepada lembaga yang berwenang, dalam hal ini adalah Kominfo. Anda bisa mengirimkan email berisi aduan ke aduankonten@mail.kominfo.go.id. Jika berkaitan dengan berita tentang Covid-19, Anda juga bisa memanfaatkan aplikasi peduli lindungi dari Kominfo.
Jika hoax yang Anda terima berasal dari sosial media, Anda cukup laporkan konten tersebut dengan cara klik titik tiga kanan atas, pilih Laporkan. Pihak sosial media akan menindak konten yang banyak dilaporkan.
Saring Sebelum Sharing
Hoax akan menggunakan kalimat-kalimat yang bernada ancaman, semisal jika tidak dibagikan maka akan mendapat karma atau iming-iming akan memperoleh keberuntungan. Tetap tenang dan gunakan logika serta periksa kebenaran berita tersebut. Saring sebelum sharing, jika hal tersebut hoax cukup berhenti di Anda.
Jangan Mudah Percaya dengan Gambar atau Video yang Muncul di Internet
Kecanggihan dunia fotografi memungkinkan untuk menggabungkan dua gambar atau lebih dalam satu bentuk konten. Ditambah dengan kata-kata bombastis biasanya akan mengundang banyak interaksi. Jangan mudah percaya dengan apa yang Anda lihat di internet karena konten semacam ini sangat mudah dibuat oleh siapapun.
Cara Cek Berita Hoax
Tak kalah penting berikut ini cara cek kebenaran sebuah berita dengan melihat ciri-ciri berita hoax:
Perhatikan Elemen Berita
Berita hoax biasanya tidak menampilkan keterangan waktu dengan pasti, misal tanggal, waktu atau keterangan tempat. Berita hoax biasanya akan menuliskan kemarin, lusa atau besok tentang kronologi kejadian.
Cek Google
Manfaatkan Google untuk menganalisis sebuah konten. Jika Anda curiga, coba ketikkan kata kunci yang dilengkapi kata hoax di belakangnya. Google akan menampilkan referensi artikel terkait konten tersebut.
Verifikasi Data
Langkah penting lain yang bisa ditempuh untuk menganalisis hoax. Cocokkan pernyataan yang terkandung dalam konten dengan sumber yang dapat dipercaya, seperti jurnal penelitian atau situs resmi milik pemerintah.
Itulah beberapa trik yang bisa digunakan untuk menyikapi dan mengatasi berita hoax.
Kepala Biro Multimedia Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol, Budi Setiawan, menggarisbawahi tugas dari polisi Cyber atau patroli Siber adalah untuk mengamankan ruang Siber dari penyebaran berita hoaks, fitnah, serta ujaran kebencian yang bertujuan atau dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat Indonesia.
Brigadir Jenderal Slamet Uliandi selaku Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menyampaikan, timnya secara resmi sudah beroperasi sejak 24 Februari 2021 dengan melaksanakan patroli siber di sosial media. Tugasnya mengawasi konten-konten yang memiliki indikasi atau mengandung hoaks, hasutan, serta ujaran kebencian di berbagai platform (Instagram, Facebook, dan Twitter).
Cara kerja polisi virtual yang perlu diketahui, Pertama memberikan peringatan ke akun-akun media sosial yang membagikan konten-konten melanggar setelah mempertimbangkan dengan para pendapat ahli. Kedua, saat ada akun yang mengunggah tulisan atau gambar yang mengandung unsur melanggar pidana. Cara kerja polisi virtual pada tahap ini yaitu tulisan atau gambar tersebut akan disimpan oleh petugas untuk kemudian dikonsultasikan dengan para ahli (ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE). Ketiga, Jika para ahli menyampaikan konten tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana, maka tahap selanjutnya yaitu diajukan ke bagian direktur siber. Keempat, Tahap berikutnya yaitu peringatan polisi virtual dikirim secara resmi melalui direct message ke akun yang bersangkutan. Kelima, Peringatan Polisi Virtual dikirim melalui direct message karena peringatan tersebut bersifat rahasia dan tidak boleh diketahui oleh pihak lain.
Ada sebuah kondisi dimana informasi liar, hoaks dan disinformasi beredar di ruang siber melalui berbagai saluran komunikasi seperti media sosial, media massa, blog hingga forum online. Derasnya arus informasi dan pesan yang lalu lalang di ruang siber pasti akan membawa pengaruh besar ke dunia nyata.
Pemerintah melalui Kementerian Kominfo sampai melakukan blokir akses internet agar informasi dan pesan yang bertujuan provokatif dan menyulut emosi bisa dihentikan. Salah satu upaya yang dilakukan institusi atau lembaga untuk mencegah masifnya peredaran hoaks dan disinformasi adalah melakukan patroli siber.
Selayaknya patroli di dunia Maya, maka patroli di ruang siber juga dilakukan pasukan siber atau cyber army yang mencari, memantau, mengamati hingga memprediksi segala sesuatu yang tidak baik atau segala yang berpotensi jadi ancaman.
Polri telah mengaktifkan virtual police atau polisi dunia maya sejak 23 Februari 2021. Virtual police adalah unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai respons atas arahan Presiden Joko Widodo agar polisi hati-hati menerapkan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pelaksanaan tugas virtual police merujuk pada Surat Edaran (SE) Kapolri bernomor SE/2/11/2021 Tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif. Lewat SE, Kapolri meminta penyidik mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police serta virtual alert . Upaya tersebut bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Virtual police yang memantau aktivitas di media sosial, akan melaporkan ke atasan jika menemukan unggahan konten yang berpotensi melanggar UU ITE. Selanjutnya, unggahan konten yang diserahkan oleh petugas virtual police akan dimintakan pendapat ke para ahli, seperti ahli pidana, ahli bahasa dan ahli ITE.
Kompol Yusriandi Y, SIK, M.MedKom selaku Serdik Sespimmen Poolri Dikreg ke 61 berpendapat, virtual police dalam melaksanakan tugasnya melayangkan peringatan kepada akun-akun media sosial yang mengunggah konten dengan unsur SARA. Kehadiran virtual police untuk memberikan edukasi kepada masyarakat demi menciptakan ruang siber yang damai dan sehat.
“Ini menimbulkan pro dan kontra. Ini kan namanya menghalangi kebebasan berekspresi, Polisi ini memang serba salah. Tapi HAM itu bisa dikompromikan terhadap hal-hal yang berdampak terhadap disintegrasi bangsa, maka kita boleh intervensi,” kata Kompol Yusriandi Y.
Virtual police atau polisi virtual nantinya akan bertugas memberikan edukasi kepada masyarakat terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Virtual police tersebut akan berpatroli di dunia maya untuk menegur masyarakat pengguna media sosial jika ada potensi pelanggaran UU ITE.
Kehadiran polisi virtual pada intinya untuk menghantam konten negatif dan hoaks. Selain itu, Virtual Police juga menjadi sarana edukasi buat masyarakat. Selain itu, diharapkan agar masyarakat dapat terkoreksi apabila membuat suatu tulisan atau gambar yang dapat membuat orang lain tidak berkenan dan untuk menghindari adanya saling lapor.
Ujaran Kebencian
Hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Ujaran kebencian bisa pula berarti tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain. Ujaran kebencian biasanya menyangkut aspek ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Sedangkan dalam arti hukum Ujaran Kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong. Pidana terhadap ujaran kebencian dilakukan karena tindakan itu bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Pendefinisian ujaran kebencian di beberapa negara itu dikhawatirkan menekan kebebasan berpendapat, menghalangi demokrasi, dan memperbesar ruang atas sensor konten di internet. Dalam konteks pendefinisian ujaran kebencian di Indonesia, ada dua masalah yang patut kita diskusikan lebih lanjut.
Pertama, definisi ujaran kebencian yang cenderung terlalu luas. Kedua, asumsi sederhana terhadap efek media sosial. Apakah sebuah unggahan seorang individu di akun media sosial pribadinya mampu menimbulkan dampak destruktif ?
Hingga saat ini, tidak ada definisi tunggal yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian.
Laporan UNESCO pada 2015 justru menyebutkan bahwa meskipun terdapat beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal di masing-masing daerah.
Berdasarkan beberapa konvensi internasional, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori.
Pertama, definisi yang melihat ujaran kebencian sebagai penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu. Kedua, definisi yang menimbang ujaran kebencian sebagai seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan.
Kategori ketiga mencakup ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan tindak terorisme. Dan dalam kategori keempat, ujaran kebencian didefinisikan sebagai hasutan untuk melakukan genosida.
Dalam tiga dari empat definisi tersebut, sebuah pesan dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan. Selain konvensi internasional, definisi terkait ujaran kebencian juga dirumuskan oleh platform media sosial. Definisi ini kemudian dijadikan dasar perusahaan media sosial untuk melakukan tindakan atas sebuah konten yang dianggap bermasalah.
Perusahaan media sosial mengimplementasikan definisi ini secara global tanpa memandang hukum lokal sebuah negara. Facebook, misalnya, mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung kepada orang terkait karakteristik yang menurut Facebook harus dilindungi, seperti ras, etnis, kewarganegaraan, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, Facebook menjelaskan serangan langsung sebagai ujaran keras atau tidak memanusiakan, stereotip berbahaya, merendahkan, pengucilan, atau pengasingan. Twitter dan Youtube juga memiliki definisi yang senada dengan Facebook terkait ujaran kebencian. Pendefinisian ujaran kebencian oleh platform-platform tersebut menekankan pada batasan isu dan bentuk serangan.
Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan surat edaran Polri.
UU ITE melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Sementara Surat Edaran Kepala Polri No. SE/6/X/2015 menjelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial.
Berbeda dengan konvensi internasional dan platform sosial media, definisi di Indonesia ini memiliki bentuk tindakan dan cakupan isu yang luas. Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan ini sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Bagaimanapun, ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu serius dan sepatutnya diantisipasi.
Ujaran kebencian seringkali diasosiasikan dengan meningkatnya kejahatan terhadap kaum minoritas, seperti terjadi pada penembakan di sinagoge di Amerika Serikat dan tragedi etnis Rohingya di Myanmar.
Selain perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian, para pemangku kepentingan perlu melakukan beberapa aksi kolaborasi. Pertama, sosialisasi literasi digital dan cara berpikir kritis kepada pengguna internet, baik dalam kapasitas mereka sebagai pencipta maupun penikmat konten. Pengguna perlu memiliki pemahaman atas tentang perbedaan karakteristik media sosial dan konvensional, cara bermedia sosial yang baik, perlunya verifikasi informasi yang diterima, hingga pemahaman risiko atas konten yang mereka buat atau sebarkan.
Kedua, perlunya menghadirkan narasi kontra yang dapat menandingi konten terkait ujaran kebencian yang telah beredar. Konten positif dan narasi terkait keberagaman perlu dibuat lebih masif dan menarik.(*)