Banjarmasin. BARITOPOST.CO.ID – Terdakwa Muhammad Anshor,
yang merupakan appraisal
atau penilai tanah untuk pengadaan lahan gedung Samsat Amuntai, meminta agar majelis hakim membebaskan dirinya dari segala dakwaan dan tuntutan jaksa.
Permintaan itu dia sampaikan melalui penasehat hukum dari Kantor Sabri Noor Herman SH MH, usai dituntut selama 5 tahun dan 6 bulan penjara. Denda Rp200 juta subsdair 6 bulan kurungan.
Hukuman tuntutan juga ditambah dengan uang pengganti Rp465.120.000 dengan ketentuan apabila tidak bisa membayar maka diganti kurungan badan selama 3 tahun penjara.
Jaksa menilai terdakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Klien saya ini hanya menjalankan tugas atau profesinya sebagai penilai (appraisal). Tidak ada sangkut pautnya dengan pembayaran. Dan fakta persidangan juga sudah terngkap kalau dia tidak kenal dengan pemilik lahan, dan tidak ada sepersen menerima uang baik dari pemda maupun pemilik lahan,” ujar Sabri kepada sejumlah wartawan, Rabu (17/5).
Sabri juga mengatakan tak habis pikir, kenapa jaksa hanya bisa menyeret seorang appraisal dan kepala desa Akhmad Yani. Sementara dari birokrat dan pemilik lahan lepas dari jeratan hukum.
“Dalam kasus ini, malah pihak pihak birokrat yang mempunyai proyek tidak dijadikan tersangka, dan anehnya lagi pemilik lahan hanya dijadikan sebagai saksi,” ungkapnya.
Dia juga mempertanyakan uang titipan sebesar Rp100 juta dari saksi pemilik lahan. Yang mana uang tersebut kemudian dalam tuntutan dijadikan sebagai uang pengganti.
Baca Juga: Pembobol Toko Emas Ratna di Jalan Sudimampir Banjarmasin Berhasil Dibekuk
Pengacara senior ini juga memaparkan aturan pemakaian tim appraisal atau penilai. Yang mana appraisal bisa digunakan untuk pembelian lahan diatas 1 hetar. Sementara jual beli lahan yang luasnya dibawah satu hektar itu bisa langsung dilakukan jual beli, tanpa harus ada penilai atau pembanding.
“Kenyataannya dalam pembelian lahan kantor samsat, birokrat tetap menggendeng tim penilai. Dan untuk diketahui, hasil dari tim penilai yakni Rp491.000 permeter tidak digunakan. Pihak pembeli membayar langsung ke pembeli dengan harga sendiri yakni Rp480.000 ,” paparnya.
Jadi lucu akhirnya tandas Sabri ketika appraisal dijadikan terdakwa dan kini diminta untuk membayar ganti rugi. “Dimana kerugian negara yang ditimbulkan penilai,” cetusnya.
Sehingga berdasarkan fakta hukum yang ada dipersidangan, Sabri berharap majelis hakim yang menyidangkan perkara bisa membebaskan kliennya dari dakwaan dan tuntutan JPU.
“Karena selain tidak menerima uang, klien saya hanyalah menjalankan tugas dan profesi, kalaupun ada terjadi tindak pidana korupsi mestinya dari birokray selaku pengguna anggaran dan pemilik lahan,”jelas Sabri.
Tambah Sabri, berdasarkan informasi yang ia dapat dari group WhatApp terkait kasus ini organisasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) akan melakukan aksi.
“Mereka menilai tuntutan jaksa sangat berdampak bagi profesi keahliannya,” ujar Sabri.
Diketahui, pengadaan tanah untuk gedung Samsat Amuntai ini dari anggaran Biro Perlengkapan Pemerintah Provinsi Kalsel Tahun Anggaran 2013.
Total anggaran dalam pengadaan tanah di Desa Pekapuran, Kecamatan Amuntai Utara, Kabupaten HSU, seluas 7.064 meter persegi adalah sekitar Rp 3,3 miliar. Sedangkan nilai kerugian dari kasus ini kurang lebih senilai Rp 565 juta.
Penulis: Filarianti
Editor: Mercurius
Follow Google News Barito Post dan Ikuti Beritanya