Awal Modernisme Perkotaan Di Banjarmasin

Sketsa wilayah Benteng Tatas yang sekarang jadi Masjid Sabilal Muhtadin.

Oleh : Vera D. Damayanti dan M. Khuzaimi

BARITOPOST.CO.ID
Kota Banjarmasin memiliki sejarah tersendiri, bagaimana kota ini memulai peradaban yang modern hingga sekarang ini. Namun perlu diketahui, cikal bakal berdirinya bangunan modern di Kota ini ternyata dimulai dari wilayah Tatas.

Tatas terletak di pusat kota Banjarmasin yang saat ini menjadi lokasi Masjid Raya Sabilal Muhtadin.

Di masa kesultanan, Tatas menjadi nama sebuah area yang dikelilingi oleh Sungai Martapura di sebelah timur, Sungai Barito di sebelah barat, dan Sungai dan Antasan Kuin di sebelah utara, dimana saat itu dikenal sebagai Pulau Tatas.

Dari beberapa laporan perjalanan, seperti yang ditulis oleh Daniel Beeckman yaitu seorang perwakilan East India Company – sebuah perusahaan dagang dari Inggrisyang bertransaksi di Banjarmasin pada 1714: dan Salomon Muller, seorang ilmuwan yang berkunjung ke Kalimantan Selatan pada 1836, Tatas juga dijadikan nama sungai.

Dituliskan bahwa Sungai Martapura juga dikenal sebagai Sungai Tatas, dan Sungai Kuin disebut Sungai Tatas Kecil. Saat ini, istilah Tatas selain menjadi nama area tapak masjid Raya, juga sebagai nama aliran kanal yang mengitari area tersebut.

Dengan posisinya yang berada di jantung Kota Banjarmasin, area Tatas memiliki lokasi strategis, yang pembentukannya dipengaruh oleh aktivitas Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), atau perusahaan dagang Belanda, yang kemudian menjelang akhir abad ke-18 karena bangkrut VOC dibubarkan dan pendudukannya dialihkan ke Pemerintah Hindia Belanda.

Vera D Damayanti dan M Khuzaimi

Artikel ini akan mengurai secara singkat transformasi area Tatas dan perannya dalam perkembangan fisik pusat kota Banjarmasin.

*Dari kota pelabuhan kesultanan menjadi kota kolonial

Belum diketahui secara pasti sejak kapan Tatas mulai dikembangkan. Namun setidaknya di abad ke 17 area ini telah dihuni dan menjadi salah satu tempat penting bagi Kesultanan Banjarmasin, yaitu sebagai pelabuhan dagang dimana syahbandar kesultanan berada. Jacob J. De Roy, seorang pegawai VOC yang berada di Banjarmasin pada 1691, menuliskan bahwa Sultan Amir Allah Bagus Kusuma – berkuasa pada periode 1680-1700berlayar dari keraton Martapura menuju kediamannya di Tatas untuk bernegosiasi dengan para pedagang Portugis, Cina dan Siam. Kawasan ini dijaga oleh 700 prajurit dan dilengkapi dengan pos jaga yang kemudian dikenal sebagai benting lamauntuk mengatur lalu lintas kapal.

Hingga awal abad ke 18, sebagaimana tergambarkan pada sebuah peta Banjarmasin tahun 1740, Negeri Tatas merupakan pusat permukiman yang penting selain Negeri Banjar – yang dulunya menjadi pusat pemerintahan kesultanan di muara Sungai Kuin. Sebagai gambaran, kondisi lanskap Banjarmasin kala itu berupa hutan rawa yang sulit untuk dikelola, sehingga aktivitas kehidupan masyarakat berkembang di tepian sungai, seperti untuk bermukim dan kegiatan ekonomi.

Jika demikian, lalu bagaimana area Tatas dikembangkan hingga seperti sekarang? Transformasi area rawa ini tak lepas dari peran para pedagang VOC yang diperkirakan memulai aktivitasnya di Banjarmasin pada tahun 1600. Pos dagang VOC atau loge dalam Bahasa Belandadi Banjarmasin yang pertama kali dibuat pada 1603, pada mulanya bersifat tidak permanen, baik dari segi struktur bangunan maupun lokasinya yang ditentukan oleh Sultan. Hingga kemudian pada tahun 1747, manakala VOC mendapatkan monopoli perdagangan lada setelah memberikan bantuan militer kepada sultan dalam menghadapi peperangan, maka sultan mengijinkan VOC mendirikan pos dagang dimanapun lokasinya. Untuk itu VOC membeli lahan milik seorang bangsawan seluas sekitar 700m? di Tatas.

*VOC biasanya menerapkan teknologi pengembangan permukiman yang serupa dengan di Belanda

dimana untuk pengembangan rawa maka lahan tersebut diatur drainasenya melalui pembuatan kanal, kemudian tanahnya distabilkan, dan diurug agar permukaannya lebih tinggi dari sekitarnya. Diperkirakan praktek yang sama juga diterapkan di Tatas, yang kemudian diatasnya didirikan hunian dan gudang dengan konstrukti rumah panggung dikeliling pagar pengaman dari kayu.

Loge tersebut dihuni oleh seorang residen, juru tulis, dan para prajurit. Di awal abad ke-19 pos tersebut dikembangkan sebagai sebuah benteng, dikenal dengan Fort Tatas, berfungsi sebagai permukiman, pendukung kegiatan perdagangan, dan pos militer. Tak jauh dari benteng ini, di area selatan dikembangkan pelabuhan dagang dan pos cukai.

Sejak ditandatanganinya kontrak 1787 antara sultan dan VOC yang menyebabkan pembagian wilayah kesultanan dengan VOC, Pulau Tatas berada di bawah otoritas VOC. Situasi ini berdampak signifikan terhadap perkembangannya, terutama terlihat setelah 1817 yang ditandai dengan reklamasi rawa untuk permukiman, pembangunan infrastruktur jalan dan kanai, serta persawahan, yang pengembangannya dilandasi oleh pertimbangan ekonomis.

Manakala kesultanan dinyatakan berakhir oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1860, dibentuklah Zuider-En Oosterafdeeling van Borneo (Karisidenan Borneo bagian Tenggara) dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya, dan pusat pemerintahan berada di Fort Tatas dan sekitarnya.

Pembangunan fisik kota menjadi lebih intensif seiring perkembangan ekonomi kawasan karisidenan, terutama sejak diberlakukannya Undang undang Agraria (Agrarische Wet) di luar Jawa dan Madura sejak 1875 oleh pemerintah kolonial Belanda. Aturan ini merupakan landasan yuridis yang mengijinkan investasi swasta dalam industri perkebunan di Hindia Belanda yang berdampak tak hanya pada liberalisasi ekonomi, namun juga pada perubahan lanskap di berbagai belahan Indonesia,

Setelah berlakunya undang undang tersebut, beberapa investor dari Eropa, terutama Belanda, datang ke Banjarmasin di tahun 1880an. Kebanyakan mereka membuka perkebunan di pedalaman untuk budidaya tanaman industri seperti tembakau, kopi, dan karet. Selain itu terdapat pula para pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan, terutama batu bara.

Sektor perkebunan, pertambangan dan perdagangan kemudian mendominasi aktivitas ekonomi kawasan, dimana produk produk yang dihasilkan diekspor melalui pelabuhan dagang di tepi Sungai Martapura di Pulau Tatas. Karena itulah berbagai perusahaan Eropa membuka kantor dan tempat usaha di Banjarmasin.

Perkembangan ekonomi regional berpengaruh terhadap lanskap perkotaan Banjarmasin yang awalnya berpusat di Benteng Tatas dan sekitarnya. Untuk mendukung aktivitas bangsa Eropa yang semakin meningkat populasinya, pemerintah kolonial membangun kota tak hanya untuk mendukung kegiatan ekonomi, seperti membangun Pasar Lama, Pasar Sudimampir, dan kompleks Pasar Baru, namun juga mengembangkan fasilitas untuk kegiatan sosial budaya.

Untuk itu dibangun sekolah, museum, taman kota, renovasi gedung perkumpulan (soci@teit), penambahan bangunan perkantoran dan rumah-rumah dinas pegawai pemerintah. Perluasan area terbangun di Pulau Tatas tersebut didukung dengan infrastruktur jalan dan tata hijaunya, kanal dan jembatan, serta utilitas listrik, sambungan telepon dan telegraf yang sangat penting Untuk aktivitas perekonomian. Perkembangan ini memunculkan tipologi bangunan baru dan perubahan tata ruang secara fungsional yang mencirikan sebuah permukiman modern.

Jika dibandingkan dengan kota kota lain di Hindia Belanda, pembangunan kota Banjarmasin dianggap lambat, sebagaimana tersirat dalam notulensi rapat rapat Dewan Kota (stadsgemeenteraad) Banjarmasin kala itu.

Kondisi ini disebabkan lingkungan rawa dan pasang surut yang memerlukan teknik khusus dalam konstruksi sehingga menyebabkan biaya pembangunan kota menjadi sangat mahal, sementara itu sumber pendanaan yang bergantung pada anggaran dan subsidi dari pemerintah pusat di Batavia sangat terbatas.

Terlepas dari berbagai permasalah tersebut, pembangunan Benteng Tatas dan sekitarnya telah merubah area rawa menjadi sebuah tatatan kota modern.

*Tatas saat ini dan masa mendatang?

Kajian kesejarahan perubahan lanskap Kota Banjarmasin di Tatas menunjukkan bahwa morfologi atau struktur pusat kota saat ini merupakan kelanjutari dari tatanan yang dibangun sejak masa kolonial. Tentunya setelah periode kolonialpun telah terjadi perubahan-perubahan dalam fungsi ruang dan bangunan seperti misalnya Fort Tatas menjadi Masjid Raya. Namun secara makro fungsi pusat kota sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional tidak berubah yang diperkuat dengan pelabuhan regionalnya.

Meskipun banyak bangunan dan struktur masa kolonial telah musnah, namun tata ruang pusat kota dengan jaringan jalan dan kanal dari masa lalu masih dapat dilihat keberadaannya dan menjadi elemen kesejarahan kota. Dalam pembangunan perkotaan, UNESCO melalui pendekatan lanskap bersejarah perkotaan (historic urban landscape) menekankan pentingnya nilai kesejarahan sebagai sebuah aset yang dapat diintegrasikan dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi. Berpijak dari konsep tersebut, maka pengembangan area Tatas dan sekitarnya diharapkan dapat memanfaatkan nilai kesejarahan setempat.

*Masukan Kepada Pemerintah Perlu Regulasi Kawasan Tatas

Kawasan benteng tatas tsb tentu bakal sangat menarik bila ditetapkan dalam satu regulasi atau minimal sejenis prasasti khusus hingga mengingatkan kita dan warga kota banjarmasiin bermula dari sinilah dari tepian sungai inilah kota banjarmasin berkembang hingga saat ini, penetapan regulasi ataupun prasasti sangat penting bagi generasi muda guna menunjang kesejarah an kota banjamasin sekaligus destinitasi wisata kota tua.

(Dosen Arsitektur Lanskap Universitas IPB Bogor dan Kabid Pengawasan Lingkungan Hidup DLH Kota Banjarmasin)

Related posts

Mengatasi Stres dari Sumber yang Tidak Terduga

Menyambut Positif Pidato Prabowo, Menyoroti Mandiri Pangan & Energi

Dua Prahara di Kalsel Membuat Jargon Babussalam Dipertanyakan