Oleh : M. SYARBANI HAIRA *)
ENTAH angin apa ? Suara-suara miring dan sumbang, yang ingin memberhentikan Bendahara Umum PBNU, Mardani H Maming, mendadak sontak meningkat. Gosipnya bermula dari kasus persidangan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu Dwidjono Putrohadi Sutopo yang didakwa melakukan kesalahan dalam pelimpahan ijin IUP (Ijin Usaha Pertambangan) di kabupaten yang mulai eksis pasca reformasi tersebut.
Persidangan mantan Kadis ESDM Tanbu itu menyebut-nyebut Mardani H Madaning (MHM), Bupati Tanah Bumbu periode 2005 – 2015, yang menjadi atasannya. Entah apa yang terjadi, MHM sampai 3 kali tak bisa hadir offline dalam persidangan sebagai saksi. Tawaran pengacara MHM untuk bisa hadir secara online ditolak pengadilan. Baru pada persidangan yang diselenggarakan Senin 25 April 2022, MHM hadir. Pasca kesaksian MHM di pengadilan itulah belakangan berkembang isu MHM harus mundur dari jabatan Bendahara Umum PBNU.
Suara riuh antara yang meminta MHM dimakjulkan dengan yang membela sama-sama bising. Awalnya, karena ini terkait dengan NU, jam’iyah diniyah yang saya ikuti, langsung saya respon. Kebetulan sejumlah wartawan banyak yang meminta koment saya terkait masalah ini. Namun saya ingat doktrin NU, di mana warga NU harus selalu mempertimbangkan aspek “maslahat dan mafsadat” (manfaat dan mudharat), dan saya pun balik kanan. Sejumlah wartawan yang semula sempat saya berikan jawaban, terpaksa saya hubungi kembali. Saya mohon di cancel dulu, nanti saya siapkan tulisan khusus soal ini.
***
SEMULA saya cuek saja menyikapi soal ini. Apalagi terkait MHM, tokoh muda hebat dari Tanah Bumbu itu, interaksi saya dengannya sangat minim. Interaksi langsung saya pertama kali terjadi tahun 2013, saat pelantikan PWNU Kalsel di Gedung Dakwah NU Kalsel, Jl Ahmad Yani KM 12. Waktu itu MHM sudah menjadi bupati, konon termuda se Indonesia. Ia hadir mengenakan uniform batik NU berwarna hijau muda, yang disiapkan panitia, yang harganya murah meriah cuma Rp 65 ribu. MHM, seperti banyak tokoh NU lainnya, masuk jajaran Mustasyar PWNU Kalsel atas rekomendasi PCNU Tanah Bumbu. Saat itu saya sempat melakukan foto bersama, habis itu tak pernah ketemu lagi. Hingga yang bersangkutan usai menjalankan tugas sebagai bupati selama 2 periode, saya juga tak pernah mampir atau sowan ke tempatnya bekerja atau kediamannya.
Saya baru ketemu kembali setelah MHM tak menjadi bupati. Ia sudah menjadi pengusaha nasional, sekitar Nopember (atau Desember) 2017, menjelang Konferwil PWNU Kalsel. Saya ketemu MHM diajak Syaipul Adhar, tokoh muda brilliant asli Tanah Bumbu, yang juga masih family MHM. Kebetulan, seperti biasa, jelang hajat 5 tahun PWNU Kalsel itu suhu politik di lingkungan NU naik. Ada kelompok yang menginginkan Dr. H. Hasib Salim, mantan Ketua PCNU HSU menjadi Ketua PWNU Kalsel menggantikan saya yang sudah 2 periode. Di pihak lain, ada pula tokoh-tokoh dan aktivis NU yang mengunggulkan Drs. H. Abdul Haris Makkie, Sekda Provinsi Kalsel, menjadi Ketua PWNU Kalsel.
Kabarnya pencalonan Sekda Provinsi Kalsel itu didukung Paman Birin, Gubernur Kalimantan Selatan. Sementara Hasib Salim dikabarkan didukung MHM, beserta jaringan PDI Perjuangan Kalsel. Menyikapi fenomena tersebut, MHM men-cek ke pihak-pihak terkait, yang akhirnya ia temukan jawaban bahwa Paman Birin memang mensupport Haris Makkie. Berdasar data itulah MHM mengontak Syaipul Adhar, untuk membahas konferwil. Pembicaraan “enam mata” tersebut mensepakati Ketua PWNU Kalsel Haris Makkie, Sekretaris Berry Nahdian Furqon, serta Wakil Ketua diurutan pertama Hasib Salim. Konferwil diselenggarakan sesuai rencana. Alhamdulillah berjalan baik, meski sempat ada gejolak. Semangat ber-NU, design kesepakatan yang sudah dibangun tercapai. Relasi saya kemudian dengan MHM pun berjalan kembali normative.
***
RIBUT-ribut tentang kesaksian MHM di persidangan tipikor itulah, khususnya kencangnya suara yang menginginkan MHM diberhentikan dari jabatan Bendahara Umum PBNU, saya merasa memiliki tanggung-jawab moral buat memberikan pencerahan. Menurut saya, keinginan untuk mengeluarkan MHM dari struktur PBNU itu bisa menjadi bola liar yang bisa kemana-mana lemparannya.
Meski misi saya ini semata buat ketentraman dan kemaslahatan NU, bisa saja respon public multi tafsir. Terburuk, saya bisa saja dituduh sudah terkontaminasi kepentingan MHM cs di tubuh NU. Namun saya tetap positive thinking, MHM ber-NU tulus, istiqomah. Keluarganya, seperti pernah diceritakan almarhum Haji Abidin (Bendahara PBNU era KH Said Aqil Siraj) asli nahdliyyin. Haji Abidin dan ayahnya MHM, Haji Maming (juga sudah almarhum) –ada baiknya hadiah suratul fatihan buat Haji Abidin dan Haji Maming– yang sama-sama pernah menjadi pambakal (kepala desa) di kawasan Tanah Bumbu, dan sama-sama pengusaha tambang batu bara. Mereka sama-sama tokoh hebat di daerahnya, sama-sama menjadi pengusaha sukses dengan talenta yang dimilikinya. MHM sendiri sebelum bergabung dengan PDI-P adalah Ketua PKB Cabang Tanah Bumbu. Kalau tak salah sempat menjadi anggota DPRD 2004 – 2009. Ia harus keluar dari PKB karena membela Gus Dur tahun 2008 waktu konflik PKB antara Cak Imin dengan Gus Dur. Ternyata MHM menemukan tempat untuk menyalurkan bakat politiknya di PDI-P, dengan tetap terhubung baik dengan orang-orang yang dikenalnya di NU.
Bisa saja tesis saya ini salah. Karena memang saya jarang bergabung dengan MHM. Jika ada pertemuan fisik, itu hanya di acara formal. Termasuk saat pelantikan pengurus PBNU di Balikpapan Kaltim 16 Rajab 1443 hijriyah (17 Februari 2021 mesihi). Kesimpulannya, saya tak seperti tokoh-tokoh NU lainnya, yang rajin berkomunikasi dengan MHM. Tetapi itu tak mengurangi semangat saya membela MHM ini. Perihal aturan di tubuh NU, ini memang dilematis. Saya juga bisa memahami kegalauan Ketum PBNU Gus Yahya mengenai soal ini. Tetapi saya kira menerapkan aturan secara kaku dan ketat, bukan jalan keluar yang baik. Pada saatnya nanti NU bisa betul-betul steril dari praktis politik. Maka itu, meski MHM itu masih sebagai leader PDI-P, tak masalah saat ini tetap menjadi Bendum PBNU.
Keterlibatan MHM di PBNU juga bukan sekadar pajang nama. Ia memang memiliki obsesi memajukan, sama seperti ide dan gagasan Ketum PBNU Gus Yahya. Dalam sebuah kesempatan MHM punya ide-ide baik tentang NU, sayang orang-orang NU khususnya di Tanah Bumbu periode lalu tak bisa menerjemahkan ide-ide MHM ini dengan baik. Akhirnya tak kesampaian. Nampaknya, kini antara ide-ide dan gagasan Ketum PBNU Gus Yahya ada simbios mutualisme, mudah-mudahan kesampaian.
Jaringan MHM yang luas sebagai pengusaha, mantan bupati, serta jaringan HIPMI, leader PDI-P tentu berharga buat NU. Jujur diakui, keunggulan NU masih seputar sebagai ulama dan akademisi. Jika ada juga wiraswastawan di NU, bisa jadi memang keturunan seperti Jusuf Kalla, dan bisa pula orang kost-an yang belakangan banyak berselewiran di NU. Selebihnya umumnya aktivis, entah itu dari GP Ansor, PMII, dan sebagainya.
Saya kira kita hentikan gagasan memberhentikan MHM sebagai Bendahara Umum PBNU. Kita manfaatkan kehadirannya untuk kemajuan NU. Kita lepaskan fanatisme muktamar di Lampung, kita songsong masa depan NU yang lebih baik. Perpaduan Ketua Umum PBNU Gus Yahya Cholil Staqub, dengan wakil-wakilnya yang hebat-hebat dan brilliant, seperti KH Zulfa Musthofa, Prof Dr Nizar Ali, Dr. Nusron Wahid dan Habib Hilal al-Aidid, dengan Sekretaris Jenderal seorang aktivis Gus Iful (Syaifullah Yusuf), serta Bendahara Umum Mardani H Maming (yang anggota-anggotanya pun juga hebat-hebat).
Dengan begitu, Insya Allah PBNU periode ini akan mencatat sejarah genuine, merintis NU yang membangun “peradaban dunia”, menata jam’iyah, serta bertekad mengkader jama’ah. Duet orang-orang hebat ini, diharapkan bisa mulus hingga akhir masa jabatan tahun 2027 mendatang. Insya Allah, barokallah … !!! (BARITOPOST.CO.ID)
*) Ketua Dewan Syuro Mesjid Kampus As-Su’ada, Syekh Abdul Kadir Hasan, Universitas NU Kalsel, Jl. Ahmad Yani KM 12, Banjar, Kalimantan Selatan