Berdamai Dengan Budaya Kerja Virtual

Oleh : Widhia Arie Prajoga Wijata

Banjarmasin, BARITO
Era disrupsi di tengah pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kebiasaan budaya pekerjaan. Tak terkecuali kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus beradaptasi dengan kebiasaa baru.

Kebiasaan baru ini membutuhkan
manajemen ASN sebagai aset sumber daya manusia untuk menjaga kinerjanya saat masa pandemi hingga pasca pandemi Covid-19.

ASN dituntut mampu menghasilkan nilai tambah (added value), bersifat jarang memiliki (unique), sulit untuk ditiru (imperfectly imitated), tidak tergantikan sumber daya lain (non-substitutable), dan dapat menciptakan nilai (value creation).

Di era globalisasi sekaligus masa pandemi Covid-19, manajemen sumber daya manusia merupakan faktor yang memegang peranan sangat penting bagi suatu instansi.

Kemudian kunci pokok yang harus diperhatikan adalah perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya. Sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.

Munculnya kebijakan baru ini juga mengharuskan ASN untuk beradaptasi penyesuaian pada sistem kerja yang akan dijalankan oleh ASN, yakni dengan sistem kerja yang lebih fleksibel, penyesuaian manajemen SDM, dan menerapkan protokol kesehatan yang didukung dengan peningkatan infrastruktur.

Komunikasi virtual adalah salah satu sarana yang dimaksud. Meskipun ini bertujuan komunikasi dan berkoordinasi dalam sebuah organisasi (perkantoran). Ini ternyata memiliki dampak yang tidak bisa dianggap sebelah mata, terkait masalah kelelahan secara fisik maupun psikis, yang ujung-ujungnya menjadi permasalahan kesehatan fisik dan mental. Secara individu mulanya, namun bisa berkembang menjadi masalah organisasi, karena sudah menyangkut kinerja sumber daya manusianya.

Bahkan ketika digunakan secara berlebihan, konferensi video dapat memicu dampak yang merusak bagi kesehatan mental dan citra tubuh seseorang.

Bila kita kembalikan pertemuan tatap muka, mekanisme ini jauh lebih penting untuk komunikasi dan menjaga lingkungan yang sehat. Alasannya, Ini cara yang bagus untuk memperkenalkan perasaan, emosi, sikap, gerak tubuh, dan postur kita secara non-verbal.

Bila dibanding dengan rapat virtual, perlu energi yang dibutuhkan untuk menjaga momentum tetap berjalan di ruang virtual yang penuh dengan gangguan. Kemudian belum lagi kegagalan teknologi, dan kelambatan dapat membuat kita merasa terkuras, dan kelelahan.

Rapat yang diadakan secara online meningkatkan beban kognitif karena menuntut banyak kapasitas dan upaya sadar. Jika dibiarkan tanpa pengendalian yang bijak, maka penggunaan media sosial dan platform konferensi virtual yang berlebihan dapat merusak tingkat produktivitas , membuat kehilangan fokus dan menurunkan mood individu.

Apalagi jika dikaitkan dengan tuntutan pengembangan ASN Corporate Universities, yang di kemudian hari menjadi kewajiban bagi ASN untuk melaksanakannya di samping kewajiban menyelesaikan tugas pokok dan fungsinya, yang tetap menjadi tanggung jawab setiap ASN. Secara virtual memang sangat dimungkinkan semua kewajiban tersebut dikerjakan bersamaan, sekaligus.

Namun perlu dipahami pula bahwa manusia secara individu mempunyai nilai ambang batas (NAB) pada suatu iklim kerja. Yaitu nilai ambang batas pada suatu iklim kerja yang bisa diterima oleh para pekerja tanpa mengakibatkan efek samping berupa kesehatan yang terganggu dan diikuti munculnya penyakit.

Hal tersebut diwujudkan dalam satuan waktu yang tidak lebih dari 40 jam di setiap minggunya atau 8 jam setiap harinya. Apabila tenaga kerja mengalami beban kerja fisik yang tinggi maka tingkat terjadinya kelelahan akan semakin meningkat (Pajow, Sondakh, & Lampus, 2016). Peringatan dari tubuh yang mengalami penurunan fisik dan psikis disebut dengan kelelahan kerja.

Kelelahan yang dialami oleh sebagian besar pekerja akan berpengaruh pada resiko yang dihasilkan dan jika hal tersebut tidak diperhatikan dengan baik akan diikuti pada performa kerja yang menurun dan berakibat pada kesalahan dalam bekerja hingga terdapat kecelakaan akibat kerja (Tarwaka, 2013).

Data International Labour Organization mengungkapkan bahwa setiap tahun terdapat 2,5 juta tenaga kerja meninggal akibat kecelakan kerja. Kecelakaan tersebut timbul dikarenakan adanya kelelahan dalam bekerja. (BARITOPOST.CO.ID)

Sumber : Hasibuan. (2015).
Maurits.K. S. L. (2010).
Rahmadhanti, Annisa, (2021).
Tarwaka. (2013).
Wardhana, A. (2014). Senjaya, R. (2013).

Related posts

Mengatasi Stres dari Sumber yang Tidak Terduga

Menyambut Positif Pidato Prabowo, Menyoroti Mandiri Pangan & Energi

Dua Prahara di Kalsel Membuat Jargon Babussalam Dipertanyakan