BRG Dampingi Pengrajin Anyaman Purun dan Sasirangan Go Internasional

by admin
0 comments 3 minutes read

PRODUK FASHION-Dr. Myrna A. Safitri, Deputi Bidang Edukasi,Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan
Restorasi Gambut (BRG) saat meninjau Desa Darussalam Kecamatan Danau Panggang Kabupaten HSU terkait warna alami Sasirangan dan pengrajin anyaman. (foto:sum)

Amuntai, BARITO – Sebuah rumah yang dijadikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Darussalam Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) sejak Selasa 21 Mei 2019 tadi berkumpul ibu-ibu pembuat anyaman dari tanaman Purun, Sabtu (25/52019). Tak hanya itu para anak muda juga ada, ternyata mereka membuat Sasirangan dengan warna alami.

Hal inilah yang dikunjungi Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bekerjasama Eko Fesyen melaksanakan
Lokalatih pembuatan produk fashion dengan teknik pewarnaan alami menggunakan buah-buahan yang berada di sekitar lahan gambut di Kabupaten HSU Kalimantan Selatan pada 20-25 Mei 2019. Kalsel dikenaldengan pengembangan produk kerajinan anyaman terbuat dari tanaman purun (Eleocharis). Selain itu juga dikenalkan. Sayangnya, pewarnaan alami untuk kain sasirangan jarang dilakukan.

Melalui lokalatih ini BRG, bersama Eco Fesyen, berharap memanfaatkan ekosistem gambut di sekitarnya dengan bijak sebagai pewarna alami ramah lingkungan untuk pembuatan anyaman dan kain sasirangan.

Produk lokalatih ini akan ditampilkan selama acara di Festival Gambut Indonesia di Oslo, Norwegia pada 29-30 Juni 2019 nanti. Juga pada Eco Fashion Week, Antwerp, Belgia pada Oktober 2019. Hingga pameran di Eco Fashion Week Indonesia, Jakarta pada November 2019.

Seperti dilakukan Zaleha (45) yang membawa tanaman purun itu dari desanya desa Kabuau Kecamatan Kuripan Kabupaten Barito Kuala (Batola) ke Desa Darussalan Kecamatan Danau Panggang di teras rumah tersebut bersama 30 pengrajin dan tujuh fasilitator.

Selama ini dia hanya membuat tikar purun dengan ukuran 130 cm x 80 cm dan itu dilakukan sudah bisa sejak kecil. Sementara untuk membuat Bakul dan topin jarang sejakali lantaran agak sulit membuatnya. Sementara dijuak juga tak banyak laku.

“Kalau Tikar Purun banyak beli pengempulnya, tapi kami membuatnya hanya sesuai pesanan,”sebut Zaleha yang didampingi Koordinatornya Arbain.

Zaleha merupakan salah satu dari delapan orang dari Marabahan Batola, namun ujarnya terkait bahan baku tanaman purun itu sendiri makin berkurang karena masuknya perkebunan sawit sehingga purun berkurang selain rawan kebakaran.

Zaleha menyatakan, kerajinan meanyam sejak kecil, dihandingkan ramai dulu kalau sekarang ada kerja kebun sawit. Dia pun berharap meanyam itu tak lagi menjadi usaha sampingan. “Sehari saya dapat membuat tikar bahkan bisa 10 ikar kalau cepat. Kendala kalaun kemarau tanaman purun terbakar tapi cepat tumbuh lagi,”sebutnya.

Sedangkan motif warna warni namanya saluang mudik ith dikasih warna kesumba. Dia mengakui kalau membuat bakul sudah bisa sedikit tapi topi belum karena harus ada ukurannya. Sedangkan Rahmawati dari Desa Bararawa Kecamatan Paminggir Kabupaten HSU memang belajar membuat tas belajar kepada Khadijah (64) dari Desa Tampakang Kecamatan Paminggir HSU, nenek ini ahlinya dalam membuat pita pada tas atau bakul.

Sementara di bagian halaman juga sibuk pengrajin Sasirangan yang ramah lingkungan menggunakan pewarna alami. Mereka membuat Kulit batang Mingkudu dan daun Ketapang serta Ubi Ungu sebagai warna. Dr. Myrna A. Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) mengatakan, pelatihan itu untuk meningkatkan kemampuan para pengrajin membuat kerajinan kerajinan dari purun dari bahan yang menggunakan teknik pewarnaan alami

Selain itu juga latihan ini juga mengajarkan kepada peserta untuk membuat kain Sasirangan yang menggunakan pewarnaan alami. “Kenapa kami tertarik melakukan ini, sebenarnya kami melihat bahwa di lahan gambut itu kan banyak sekali potensi-potensi serat alam yang itu bisa dikembangkan termasuk juga enceng gondokdan Tabam,”sebutnya.

arsuma

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment