Deteksi Dini Penanganan Konflik Masyarakat Terkait Tapal Batas Dan Peran Intelijen Serta Polri Didalamnya

by baritopost.co.id
0 comments 7 minutes read

Konflik tapal batas daerah biasanya terjadi apabila daerah yang diperebutkan memiliki potensi sumber daya alam, politik dan sosial budaya. Penyelesaian konflik melalui administratif adalah penyelesaian yang dilakukan didalam lingkungan pemerintahan daerah.

Penyebab konflik tapal batas adalah pertama wilayah geografis daerah seumpama Kabupaten sebelum pemekaran yang memberi keterbatasan dalam pengelolaan wilayah. Kondisi tersebut berbeda setelah pemekaran karena kepentingan yang sudah tidak sejalan. Kedua kepentingan Ekonomi dan pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketiga ketidakjelasan tapal batas antara kedua daerah membuat konflik semakin meruncing. Garis batas wilayah Administrasi Pemerintahan yang ada selama ini baru diatas peta, dilapangan belum ditegaskan dengan tanda-tanda batas yang jelas. Dalam tinjauan aspek personal, faktor-faktor penyebab konflik tapal batas adalah perbedaan kepentingan dan persepsi memunculkan strategi bagi setiap ;pihak untuk menggolkan tujuannya, sehingga masih ditemukan perbedaan pendapat tentang penggunaan peta dasar sebagai acuan penetapan dan penegasan batas daerah.

Dalam tinjauan aspek kultural faktor-faktor penyebab konflik adalah perubahan nilai-nilai, diantaranya adalah nilai kognitif yang diyakini masyarakat dayak tentang tapal batas. Upaya Pemerintah ditingkat provinsi dalam penyelesaian konflik adalah pertama, Compromising style yaitu sebagai fasilitator. Kedua membentuk tim untuk peninjauan langsung ke lapangan. Ketiga menghindari potensi konflik ditingkat bawah. Keempat Regulasi. Penegasan batas daerah mutlak harus dilaksanakan, karena dengan batas daerah yang pasti, akan diketahui luasan dan batas wilayah kewenangan yang jelas serta jaminan kepastian hukum.

Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, banyak daerah di Indonesia yang mengajukan pemekaran daerah. Hal ini disebakan oleh model pemerintahan yang sentralistik di zaman orde baru, yang menyebabkan daerah menjadi tidak berkembang karena tidak dapat memaksimalkan potensi daerahnya. Semangat pemekaran ini dilandasi oleh Otonomi Daerah, Otonomi Daerah memberikan hak untuk mengatur, mengurus sendiri urusan pemerintah yang sejalan dengan Negara Kesatuan Indonesia. Seiring dengan pesatnya laju pemekaran daerah disisi lain muncul permasalahan baru yang selama ini tidak menjadi sorotan penting bagi daerah. Pemekaran daerah mengasilkan Daerah Otonom Baru menyebabkan penetapan batas wilayah menjadi konflik sengketa tapal batas. Konflik Sengketa tapal batas terjadi disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari penetapan batas yang tidak jelas dari undang-undang pembetukan daerah otonom baru, perebutan sumber daya alam, Politik, hingga pelayanan pemerintahan. Sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur mekanisme penyelesaian apabila terjadi sengketa tapal batas antara daerah terjadi. Lantas bagaimana mana model penyelesaian sengketa yang diatur.

Munculnya sengketa tapal batas antara daerah kabupaten/kota menimbulkan ketidak harmonisan antara Pemerintahan Daerah baik itu dalam satu provinsi maupun antar provinsi. Hal ini dapat menimbulkan konflik horizontal baik itu antar masyarakat maupun antar Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. kondisi ini berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan publik oleh daerah kabupaten/kota kepada masyarakat. Sehingga dibutuhkan mekanisme penyelsaian ketika terjadi sengketa tapal batas dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum.

Secara emperis munculnya sengketa tapal bapas disebabkan oleh faktor yuridis karena ketidakjelasan batas wilayah suatu daerah. Penetapan batas daerah terlampir dalam undang-
undang pembentukan suatu daerah tersebut. Pesatnya pemekaran daerah disebabkan keiinginan untuk menjadi daerah otonom. Pasca reformasi 1998, banyak daerah ingin mengembangkankan daerahnya menjadi daerah yang otonom karena keinginan untuk mengatur dan mengurus diri sendiri. Kondisi ini merupakan dampak runtuhnya rezim orde baru, dimana pada masa itu sistim pemerintahan berbentuk sentralistik. Reformasi memberikan nafas perubahan baru dalam seluruh aspek kehidupan bernegara, salah satunya dibidang pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Dalam konteks pemekaran daerah, penetapan garis batas sudah dituangkan dalam Undang-undang tentang pembentukan suatu daerah, namun yang menjadi persoalan penentuan garis batas apabila dilapangan masih memunculkan penafsiran dari masing-masing daerah yang berdampingan. Penafsiran inilah yang menjadi masalah atau sumber konflik perbatasan antar daerah.

Sebagai bentuk respon terhadap potensi terjadinya sengketa tapal batas antara daerah provinsi, kabupaten/kota, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mengatur tentang mekanisme penyelsain melalui Gubernur dan Menteri dalam Negeri. Berdasarkan pasal 370 ayat (1) jika terjadi sengketa perbatasan daerah otonom di dalam satu provinsi maka penyelsaiainnya di fasilitasi oleh gubernur. Sedangkan jika perselisiahan antara pemerintahan provinsi dengan provinsi, dan provinsi dengan daerah, maka penyelesaiannya dilakukan oleh Menteri dalam Negeri dan keputusannya bersifat final. Namun tidak ada pengaturan mengenai mekanise penyelesaian sengketa apabila salah satu pihak tidak setuju dengan Peraturan Menteri dalam Negeri. Sehingga dibutuhkan upaya hukum dalam proses penyelesaian snegketa tapal batas guna memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

Pembagian daerah tersebut tidak menghilangkan kedaulatan pada Negara Kesatuan RI. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya saja. Dalam fase perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah dan diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dengan Undang-undang 23 Tahun 2014 telah menghasilkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokrasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Pembentukan daerah otonom secara serentak merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan aspirasi dan kondisi objektif masyarakat didaerah tertentu sebagai bagian dari bangsa dan wilayah Indonesia. Melalui otonomi daerah inilah bermunculan daerah-daerah otonom baru yang berusaha untuk memekarkan wilayahnya.

Polri dan peran intelijen dalam mendeteksi kerawanan yang terjadi didaerah dengan pemicunya tapal batas, maka Intelijen memiliki peran. Pada dasarnya tujuan intelijen negara didalam Negara RI adalah menjelaskan lebih lanjut atau menerjemahkan secara lebih riil lagi tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Ke-IV), didalam sektor keamanan. Di dalam UUD 1945 Perubahan Ke-IV diamanatkan bahwa pengelola Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan rakyat/umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksankan ketertiban dunia. Melalui konsepsi di atas intelijen memiliki peran yang penting didalam sektor keamanan untuk memberikan ramalan/kewaskitaan, peringatan dini (early warning) dan pendeteksian dini terhadap ancaman/gangguan yang mengancam keamanan nasional, melalui hasil analisa yang cepat, terkini, komprehensif dan akurat kepada pembuat kebijakan sehingga menjadi bahan/acuan bagi penentuan kebijakan dalam menjalankan pengelolaan negara di bidang keamanan, sesuai dengan tujuan bernegara.

Polri sebagai bagian dari sistem pemerintahan mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Keamanan dalam negeri sangat dipengaruhi perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan, yang dapat mempengaruhi
hakekat ancaman berupa potensi gangguan, ambang gangguan dan gangguan nyata apabila tidak dikelola dengan baik.

Polri mengedepankan fungsi Intelijen Keamanan Polri guna menyelenggarakan deteksi aksi (deteksi dini (early detection), pemberi peringatan dini (early warning) dan cegah dini) melalui fungsi Intelijen yang meliputi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan agar mampu melakukan deteksi, memprediksi berbagai bentuk gangguan keamanan, melakukan kontra Intelijen dan penciptaan kondisi bagi pelaksanaan tugas pokok Polri. Selanjutnya kondisi eksternal dan internal yang dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan lingkungan strategis akan dianalisa dengan pendekatan Strengths, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT).

Kompol Yusriandi Y, SIK, M.MedKom selaku Serdik Sespimmen Polri Dikreg ke 61 mengatakan, Bhabinkamtibmas Polri mempunyai tugas dan wewenang khusus yang berdasar pada Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat, Pemolisian Masyarakat (Polmas) menjadi suatu program baru yang diterapkan Polri, program ini merupakan salah satu cara efektif untuk membangun karjasama dengan masyarakat untuk menciptakan suasana kamtibmas yang aman dan kondusif. Tugas seorang Bhabinkamtibmas Polri adalah tugas yang mulia karena kewenanganya sangat luas bedasarkan Peraturan yang ada, baik dalam bentuk pembinaan, kemitraan, dan penyelesaian masalah (Problem solving) yang di alami oleh masyarakat, bail itu tindak pidana ringan maupun masalah sosial. Hal tersebut sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya Bhabinkamtibmas Polri berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam setiap permasalahan yang ada di wilayah tanggung jawabnya. Petugas Bhabinkamtibmas sendiri dalam tugasnya juga memiliki kendala yang dihadapi, seperti masyarakat yang kurang mengerti hukum/ peraturan yang ada dan banyaknya pihak lain yang ikut campur dalam setiap permasalahan yang akan diselesaikan.

Sebagai pengemban Polmas (Pemolisian Masyarakat), Bhabinkamtibmas lebih mengedepankan fungsi pengayoman, perlindungan, dan pelayanan masyarakat ketimbang fungsi selaku penegak Hukum. Pertikaian/permasalahan dalam skala ringan diupayakan terselesaikan secara kekeluargaan setelah terlebih dahulu menampung aspirasi secara keseluruhan.

Bhabinkamtibmas mempunyai fungsi diantaranya menyelesaikan permasalahan yang ada dimasyarakat, dalam hal ini Bhabinkamtibmas Polsek bersama Banbinsa dengan didampingi Pemerintahan provinsi atau kabupaten, memediasi menyelesaikan sengketa tanah antar warga. Mediasi ini dilakukan guna mencegah timbulnya perselisihan antar warga yang dapat semakin meluas, dan mengatasi permasalahan dengan musyawarah sehingga dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa keributan. (*)

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment