Jakarta, BARITO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah CEO Lippo Group James Riady. Penggeledahan dilakukan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
“Setelah melakukan penggeledahan di lima lokasi sejak Rabu (17/10) siang sampai tengah malam tadi, penyidik melanjutkan kegiatan tersebut ke lima tempat lain hingga pagi ini, termasuk rumah James Riady,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Kamis (18/10).
Empat lokasi lain yang digeledah, hingga kemarin pagi, adalah apartemen Trivium Terrace Lippo Cikarang, kantor Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, dan kantor Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Bekasi.
James Riady adalah anak dari Mochtar Riady, pendiri Lippo Group. Menurut majalah Forbes, kekayaan James Riady beserta keluarga ditaksir senilai 1,87 miliar dolar AS dan masuk dalam jajaran 10 orang terkaya di Indonesia pada 2016.
“Sampai pagi ini, tim penyidik KPK masih di lokasi penggeledahan,” ujar Febri. Menurutnya, dari penggeledahan itu disita dokumen terkait perizinan oleh Lippo ke Pemerintah Kabupaten Bekasi, catatan keuangan, dan barang bukti elektronik, seperti komputer dan lainnya.
Total lokasi penggeledahan sejak Rabu siang hingga Kamis (18/10) di 10 lokasi di Tangerang dan Bekasi, termasuk di kantor Bupati Bekasi, rumah Bupati Bekasi, dan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Bekasi serta Gedung Matahari Tower di Tangerang.
KPK saat ini masih mendalami proses perolehan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dilakukan oleh perusahaan Lippo Group dalam pembangunan megaproyek hunian Meikarta. “Kami tentu mendalami selain perbuatan-perbuatan orang per orang itu seperti apa aliran dananya prosesnya, bagaimana dan juga proses perizinan yang dilakukan. Apa saja tahapan yang sudah dilalui. Kami juga melihat siapa pihak yang diuntungkan dari pemberian suap untuk proses perizinan tersebut,” kata Febri.
Meikarta dimiliki Lippo Group yang merupakan kerja sama dua anak perusahaannya, yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Proyek senilai Rp 278 triliun itu adalah milik PT Mahkota Sentosa Utama yang sepenuhnya merupakan anak usaha dari PT LPCK. Adapun PT LPKR menguasai saham PT LPCK mencapai 54 persen.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen sebagai tersangka dugaan suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Mereka diamankan dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Ahad (14/10) hingga Senin (15/10) dini hari.
Billy dan rekan-rekannya diduga memberikan suap Rp 7 miliar dari total commitment fee sebesar Rp13 miliar untuk mengurus banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam yang diberikan melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, dan DPM-PTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
KPK pun menetapkan Bupati Bekasi 2017-2022 Neneng Hassanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi sebagai tersangka penerima suap.
KPK menduga pemberian suap itu terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Realisasi pemberiaan sekitar Rp 7 miliar itu melalui beberapa kepala dinas pada April, Mei, dan Juni 2018 terkait rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Untuk menyamarkan nama-nama para pejabat di Pemkab Bekasi, para tersangka menggunakan sejumlah kata sandi, antara lain, “melvin”, “tina toon”, “windu”, dan “penyanyi”.
Dalam OTT tersebut, tim KPK mengamankan barang bukti berupa uang 90 ribu dolar Singapura dan uang dalam pecahan Rp 100 ribu berjumlah total Rp 513 juta. Tim juga mengamankan dua unit mobil Toyota Avanza dan mobil Toyota Innova.
Billy Sindoro adalah mantan narapidana kasus korupsi. Ia merupakan pemberi suap terhadap anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal pada 2009 lalu. Ia divonis bersalah dan telah dihukum tiga tahun penjara.
Terungkapnya dugaan suap oleh pengembang megaproyek perumahan Meikarta di Cikarang, Bekasi, dinilai berpotensi merugikan konsumen yang telanjur mencicil properti tersebut. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pihak perusahaan bertanggung jawab atas dana yang sudah dikeluarkan konsumen.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, manajemen Meikarta wajib memberi kan kejelasan proyek tersebut. “YLKI mendesak manajemen Meikarta untuk segera menjelaskan kepada publik terkait keberlanjutan proyek Meikarta tersebut,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, Rabu (17/10).
Kejelasan tersebut, imbuh dia, terkait apakah proyek Meikarta akan dilanjutkan atau dihentikan. Sebab, menurut Tulus, operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang ikut menyeret Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro menimbulkan kekhawatiran konsumen atas keberlanjutan pembangunan Meikarta.
Tulus menilai, jika proyek Meikarta dihentikan akibat perizinan yang belum atau tidak beres, negara perlu hadir dalam kasus ini. “Ini untuk menjamin hak-hak keperdataan konsumen yang sudah telanjur melakukan transaksi pembelian,” ujar Tulus.
Dia menganggap kasus Meikarta saat ini merupakan kegagalan negara dalam melakukan pengawasan. Menurut dia, YLKI sejak awal telah memberikan public warning agar masyarakat tidak melakukan transaksi apapun terkait proyek Meikarta.
Berdasarkan data Bidang Pengaduan YLKI pada 2018, pengaduan masalah properti adalah yang paling banyak. Dia mengatakan, 43 persen dari pengaduan properti tersebut melibatkan konsumen Meikarta yang berjumlah 11 kasus.
“Mayoritas pengaduan Meikarta adalah masalah down payment yang tidak bisa ditarik lagi, padahal diiklannya mengatakan refundable. Ditambah lagi masalah model properti yang di pesan tidak ada, padahal iklannya menyebutkan adanya model tersebut,” ujar Tulus.rep/tpo