Banjarbaru, BARITO
Hari Hak asasi manusia (HAM) internasional yang diperingati setiap 10 Desember masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah untuk memberikan keadilan dan perlindungan bagi warga.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menegaskan, pemerintah dan semua unsur di Kalsel masih harus bekerja keras untuk mencapai keadilan. Pemerintah menurutnya harus melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam menghormati, melindungi , menegakkan dan memajukan hak asasi manusia .
Gerakan #SaveMeratus salah satu bentuk utk menghormati HAM.
Karena Kondisi Lingkungan Hidup yg baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia.
“Kalsel masih perlu kerja keras untuk mewujudkan keadilan HAM dan menjamin keselamatan lingkungan dan keselamatan rakyatnya,” tegasnya kemarin.
Salah satu yang menjadi sorotan Walhi Kalsel adalah Pegunungan Meratus. Adanya Gerakan #SaveMeratus menurut Kisworo merupakan salah satu bentuk untuk menghormati HAM.
“Karena kondisi Lingkungan Hidup yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia. Dan di Kalsel banyak kasus yang belum selesai,” cetusnya.
Kasus di Kalsel yang menjadi perhatian Walhi dan publik misalnya pembacokan aktivis atau Ketua Komite Aksi Penyelamat Kotabaru (KAPAK), Usman Pahero di Kotabaru yang terjadi awal tahun lalu. Kemudian Kriminalisasi Wartawan di Kotabaru yakni wartawan Sinar Pagi Baru (SPB), Muhammad Yusuf yang ditangkap dan meninggal dunia di tahanan pada Juni 2018.
“Kasus lainnya adalah penggusuran dan hilangnya desa di Wonorejo Kabupaten Balangan. Pencemaran di sekitar tambang batubara, Balangan dan Banjar. Termasuk pula kejadian rumah retak oleh lubang tambang di Tanah Bumbu,” urai direktur eksekutif daerah periode 2016-2020 itu.
Bahkan, tambah Cak Kiss, demikian aktivis itu disapa, membeberkan bahwa Trisno Susilo salah satu Pengurus AMAN Tanah Bumbu dan Anggota Walhi masih mendekam di LP Kotabaru . Mereka di vonis 4 tahun karena konflik tenurial (lahan) antara masyarakat adat dengan PT. Kodeco.
“Konflik yang terjadi selalu disebabkan ketimpangan kepemilikan tanah, penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Ketimpangan struktur agraria menjadi persoalan yang belum terselesaikan, bahkan kasusnya terus meningkat,” katanya.
Dia menambahkan, tidak ada alasan untuk negara untuk tidak segera mengakui Wilayah Kelola Rakyat dan membentuk Tim/Satgas Khusus Penanganan Konflik SDA, lingkungan, dan agraria.
Walhi mencatat dari pengaduan yang masuk, dalam 10 tahun terakhir, ada 30 konflik sumber daya alam, agraria, dan lingkungan hidup. Konflik terjadi hampir di semua kabupaten di Kalsel. Konflik dipicu pertambangan batubara dan perkebunan sawit
Konflik itu diantaranya dua konflik tambang (PT. Adaro) dan 1 konflik sawit (PT. CPN) di Kabupaten Tabalong.
Di Balangan, ada dua konflik tambang (PT Adaro), 1 oleh perkebunan sawit, dan 1 tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat (Dayak Pitap) dengan tuduhan telah merambah kawasan hutan.
Di Hulu Sungai Utara, terjadi konflik dengan Izin perkebunan sawit (PT HJL dan PT SSB).
Di Hulu Sungai Tengah, terjadi dua konflik ekspansi sawit (PT GAL dan PT GNL) dan 2 ekspansi tambang (PT AGM dan PT MCM).
Di Hulu Sungai Selatan ada 3 konflik ekspansi sawit PT. SAM
Di Kabupaten Tapin, 3 konflik sawit (PT SLS, PT PAS, PT. KAP)
Di Kabupaten Banjar, 1 pencaplokan tanah dan pencemaran akibat tambang batubara PT TAJ, dan dalam kawasan hutan / KPH
Di Kabupaten Barito Kuala, pencaplokan tanah pertanian oleh perkebunan sawit PT.BPP dan PT. JAL
Di Kabupaten Tanah Laut, 2 konflik dengan perkebunan sawit (PT KJW dan PT Amanah)
Di Kabupaten Tanah Bumbu, 2 konflik dengan tambang batubara (PT Mofatama), dan 1 dengan HPH/HTI PT Kodeco berujung kepada kriminalisasi Aktivis/Masyarakat Adat
Kemudian Kabupaten Kotabaru terjadi penggusuran oleh PT MSAM/Inhutani II dan Konflik Tambang Sebuku Group.tya