*Masih Bisa Kasasi, PK atau Gugatan Perdata
Banjarmasin, BARITO – Advokat dan dosen senior, Abdul Halim Shahab melihat, masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan terkait kasus yang melibatkan polisi Bayu Tamtomo dengan korbannya VDPS.
Upaya hukum yang dapat dilakukan bisa secara pidana maupun perdata.
Secara pidana, yang bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) oleh terpidana atau jaksa agung mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum.
Sedangkan secara perdata, korban bisa mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.
“Upaya hukum luar biasa ada dua, kasasi demi kepentingan hukum dan PK, itu dalam perkara pidana. Disisi lain, menurut pandangan saya, karena putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde, maka korban bisa mengajukan perkara ini ke perdata. Sesuai pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melawan hukum. Korban berhak menuntut ganti rugi sesuai kerugian yang diderita,”jelas Halim di ruang kerjanya di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sultan Adam Banjarmasin, Kamis (27/1/2022).
H Abdul Halim Shahab yang merupakan Ketua STIH Sultan Adam itu menjelaskan, jika saat ini jaksa mengajukan banding, maka dia yakin bahwa upaya hukum banding tidak dapat diterima oleh pengadilan melalui penetapan bahwa pengajuan banding telah lewat waktu.
Hal itu karena pasal 233 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa banding boleh diterima dalam waktu 7 hari setelah putusan.
Pasal 233 ayat 2, berbunyi :
Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam pasal 196 ayat 2.
“Pada kasus yang menimpa korban persetubuhan ini, ternyata kedua belah pihak tidak melakukan upaya hukum banding dalam waktu 7 hari setelah putusan tanggal 11 Januari 2022 atau yang sesuai ketentuan undang-undang, sehingga menurut KUHAP, keduanya dianggap menerima,” terang Halim yang bergelar doktor dari Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Terkait ketidakpuasan korban dan dugaan publik adanya indikasi ketidakadilan pada vonis 2 tahun 6 bulan bagi terdakwa, Halim berpendapat bahwa putusan hakim telah berdasarkan pertimbangan komprehensif. Pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan vonias dianggap sudah berdasarkan data dan fakta yang terungkap di persidangan.
” Terlalu berani jika hakim kongkalingkong dengan jaksa dalam kasus seperti itu. Maka saya yakin, majelis hakim sudah profesional, karena menjatuhkan hukuman lebih dari dua pertiga tuntutan jaksa yang menuntut 3 tahun 6 bulan penjara. Jika ini dirasa tidak adil, kenyataannya yang terjadi, jaksa dan terdakwa menerimanya,”ujarnya.
Seperti diketahui, pasal 286 KUHP yang didakwakan kepada terdakwa berisi ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara, sedangkan jaksa penuntut umum menuntut 3 tahun 6 bulan.
” Saya melihatnya, bahwa jaksa penuntut umum dalam melakukan tuntutan sudah melalui kajian. Kajian tidak hanya berdasarkan kajian dari jaksa yang bersangkutan saja, namun juga telah diketahui oleh atasannya, yakni kasi pidum (kepala seksi pidana umum, red) ,kajari (kepala kejaksaan negeri,red) bahkan kalau perkara itu menarik perhatian masyarakat, maka akan diketahui sampai ke jaksa agung perihal rentut (rencana tuntutannya,red)-nya,”katanya.
Halim mencontohkan perkara yang menarik perhatian masyarakat, misalnya korupsi.
Sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan dalam sidang pengadilan, maka rentutnya juga melibatkan pihak Kejaksaan Agung.
Pada kasus dengan korban VDPS, jaksa penuntut umumnya juga telah diperiksa atau diminta klarifikasi oleh pimpinan melalui bidang pengawasan terkait tuntutan 3,6 tahun penjara tersebut.
Seharusnya Hukuman Ditambah
Halim mengatakan, pada kasus ini, memang seharusnya hukuman terhadap pelaku ditambah sepertiga atau ada pemberatan.
“Jadi wajar kalau jaksanya diperiksa, kenapa sampai muncul tuntutan 3 tahun enam bulan. Semestinya, dalam pertimbangan, ada tambahan bahwa terdakwa adalah anggota polisi yang notabene adalah penegak hukum yang seharusnya memberi contoh dan teladan yang baik kepada korban dan masyarakat. Oleh sebab itu ,kepadanya hukumannya pantas diperberat sepertiga dari ancaman yang ada pada pasal 286 KUHP,”tandasnya.
Namun, Halim menggarisbawahi, ada alasan dan pertimbangan jaksa yang akhirnya hanya menuntut 3 tahun 6 bulan penjara.
Dalam kondisi normal, dalam artian tidak ada surat permintaan maaf dari terdakwa yang ditandatangani pihak korban. Maka menurut Halim Shahab, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Penulis: Cynthia