Banjarbaru, BARITO – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) masih marak terjadi. Meski jumlah kasusnya di Kalsel dilaporkan sebanyak 74 kasus, tetapi pemerintah meyakini sebenarnya realita yang terjadi lebih dari jumlah tersebut.
“KDRT ini bagaikan fenomena gunung es, yang terlihat kecil namun yang terjadi sesungguhnya jauh lebih besar,” ujar Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor dalam sambutan tertulis dibacakan Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan, Fathurrahman, Jum’at (22/11) pada Pembukaan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sejak Dini” , di salah satu hotel di Banjarbaru.
Acara yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Provinsi Kalsel itu dihadiri ratusan peserta dari kalangan pelajar, organisasi, tokoh agama dan tokoh masyarakat dan lembaga terkait lainnya.
Dalam sambutannya, gubernur melalui staf ahli membeberkan bahwa sampai bulan Oktober 2019 ini, kasus kekerasan di Provinsi Kalsel 188 dengan 66 persen kasus terjadi. Dari 214 korban yang mengalami kekerasan di tahun 2019, sebanyal 135 korbannya adalah anak, 65 perempuan dan 14 orang laki-laki.
“Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan dan anak masih menjadi korban utama dalam tindal kekerasan,” ujarnya.
Sementara itu khusus KDRT, sampai bulan Oktober kasusnya berjumlah 74 orang dengan 61 orang yang mengalami kekerasan adalah perempuan.
Kepala Dinas P3A Kalsel, Husnul Hatimah menuturkan data kekerasan dalam rumah tangga yang diperoleh adalah kejadian yang dilaporkan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
“Angka itu diperoleh dari pengaduan yang masuk di P2TP2A. Sebenarnya banyak tetapi tidak dilaporkan karena kasus kekerasan khususnya dalam rumah tangga adalah fenomena gunung es,” ujarnya.
Kenapa kasus KDRT diyakini lebih banyak daripada data yang tertulis? Karena masih banyak yang menganggap kasusnya sama saja membuka aib atau dianggap merupakan persoalan domestik. Husnul juga menggarisbawahi bahwa KDRT bukan hanya berupa kekerasan secara fisik. Tetapi juga meliputi kekerasan verbal. Bahkan orangtua pun menurutnya bisa saja tanpa disadari melakukan KDRT terhadap anaknya. Misalnya memelototi anak, mencubit, membeda-bedakan anak dengan anak lain dan kekerasan secara psikologis lainya yang membuat perasaan tidak enak atau menjatuhkan mental anak.
Sementara itu Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT Kementerian PPA RI, Ali Hasan mengungkapkan, data kekerasan terhadap perempuan berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Sedangkan kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan yang dilaunching tanggal 6 Maret 2019 sebesar 406.178. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 348.466.
Dari data tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/Ranah Personal mencapai angka 71% (9.637); di ranah komunitas/publik dengan persentase 28% (3.915) dan di ranah negara dengan persentase 0,1% (16).
Di KDRT/ Ranah Personal kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan flsik 3.927 kasus (41%), kemudian kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%).
Penulis: Cinthia