Oleh Nasrullah
Anggota tim Pakar ULM bidang Antropologi untuk percepatan penanganan Covid-19
Di tengah mengganasnya wabah Covid-19, baik secara nasional dan lokal, ada baiknya kita melihat upaya masyarakat melalui kearifan lokal untuk mendukung protokol kesehatan.
Misalnya, jika selama ini himbauan bersifat top down, atau sekedar dialih bahasakan ke bahasa daerah. Maka saatnya pesan dari komunitas ditujukan sebagai nasehat untuk komunitas itu sendiri atau bersifat horizontal. Saya kira hal ini akan mengena dan berkesan dengan harapan mensupport upaya pemerintah dalam menangani covid-19.
Di Kalimantan Selatan, kearifan lokal itu, tidak harus diambil dari pesan masa lampau, juga bisa berasal dari masa kini yang sedang populer di masyarakat.
Ungkapan bahasa Banjar “bawa batanang dahulu, musuh harat”, (Tenangkan diri terlebih dahulu, musuh hebat) saya kira cukup efektif mensupport protokol kesehatan dengan memodifikasi beberapa kata.
Kata-kata “bawa batanang dahulu” mesti dimaknai sebagai upaya mengurangi mobilitas, berkerumun hingga menjaga jarak, sebab “covid-19 harat”. Sebab selama ini, karena terbiasa berkumpul, berkerumun, dalam suasana normal, tidak mudah berdiam diri di masa covid. Maka nasehat itu, kembali diucapkan dengan “bawa batanang dahulu”.
Begitu pula anjuran bagi yang terkena wabah Covid-19 agar tidak stress juga perlu diucapkan kalimat yang sama “bawa batanang dahulu, Covid-19 harat”. Ini merupakan terapi psikologis, agar pasien tidak mengalami tekanan mental, menghindari ketakutan sakit tidak bisa disembuhkan atau melenyapkan bayang-bayang kematian maka “bawa batanang dahulu” bisa dimaknai sebagai upaya menyamankan diri sendiri. Jika dikaitkan pendekatan religius, bagi umat Islam “bawa batanang dahulu” adalah dengan berzikir.
Demikian pula anjuran pemerintah untuk berpartisipasi sebagai peserta vaksin dengan ucapan “bawa bavaksin dahulu, virusnya harat”. Jika ucapan “bawa batanang dahulu” dimaknai sebagai sikap pasif, maka “bawa bavaksin dahulu” adalah sebagai tindakan atau keaktifan untuk meningkatkan kekebalan tubuh menangkis Covid-19. Tentu saja, ajakan bervaksin tersebut tidak lain karena “virusnya harat”. Maka tentu tidak cukup bervaksin hanya sekali, kiranya ungkapan agar bervaksin yang kedua kali, bahkan jila protokol kesehatan membolehkan tiga kali, pekikan kata-kata penuh semangat “tambahi lagi vaksinnya”.
Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi
FKIP Universitas Lambung Mangkurat