159
Banjarmasin, BARITO – Potensi tindak pidana korupsi banyak bersarang pada proses pengadaan barang dan jasa. Data yang dihimpun dari KPK meyebutkan potensi itu setidaknya mencapai 80 persen bila dibanding potensi korupsi lainnya.
Tenaga Ahli dari Strategi Nasional KPK RI, Hayidrali mengatakan, data dari 40 – 50 persen penyedia barang dan jasa itu rawan tindak pidana korupsi. Lalu dari kerawanan itu, potensi sampai 80 persen terjadi penyimpangan.
Dijelaskannya, potensi korupsi dibidang itu terjadi bukan hanya saat prosesnya, namun sudah muncul saat penyusunan anggaran yang di bahas di DPR.
“Bukan hanya proses, barang dan jasa ini muncul sejak anggaran disusun di DPR. Disana sudah rawan terjadi karena dalam pelelangan sebuah proyek pengadaan yang dilaksanakan pemerintah, antara eksekutif dan legislatif bisa saja menyusun strategi untuk sama-sama mencari keuntungan,” tuturnya saat dialog bersama Insan Pers belum lama ini.
Kemudian ia merincikan lagi, dalam paket-paketan proyek terkait penyusunan anggaran sementara anggota dewan yang memiliki perusahaan, disanalah mulai bermain dan mengarahkan proyek ke perusahaannya.
“Paket-paketnya itu sebenarnya sudah disusun. Karena diketahui juga, anggota dewan itu banyak punya perusahaan. Nah dia mengarahkan ke perusahaan mereka. Saat keluar proses terlihat prosedur padahal hanya formalitas saja,” bebernya.
Selain itu, masih terkait proyek. Sering sekali Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) disebut penyebab lambatnya menjalankan proses lelang.
Menurut Hayidrali itu asumsi yang salah. Lambatnya proses lelang dari LPSE itu juga bisa karena settingan oleh oknum, misalnya pada kenakalan pokjanya, juga bisa dari intervensi pimpinan.
“Adanya LPSE itu sebenarnya melancarkan proses lelang, kalau lambat itu karena ada permainan oleh oknum nakal dan juga intervensi pimpinan,” katanya.
Kabag Pengadaan Barang Sistem Elektronik LPSE Banjarmasin, Joko Pitoyo menampik ada celah penyimpangan saat pelelangan barang dan jasa. Menurut Joko, saat ini kelompok kerja (Pokja) yang menjalankan merupakan tenaga ahli. Tidak seperti dulu yang masih disebut tukang pelelangan.
“Pokja ini mandiri, dibuat sistem agar tak mudah terintervensi, baik dari penyelenggara negara atau yang lain. Sekarang kan fungsional. Artinya mereka tenaga ahli. mereka bekerja secara profesional sesuai aturan yang ada disitu,” jelasnya, Jumat (14/9) di Balai Kota Banjarmasin.
Dia menambahkan, semua pelelangan sudah melalui sistem aplikasi yang dijalankan secara transparan. Untuk Pemerintah Kota Banjarmasin, Joko berkata pelelangan mencapai 98 persen dari total 120 paket dengan pagu anggaran Rp 240 miliar.
dan