Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, (KSOP) Banjarmasin, Bambang Gunawan didampingi pejabat terkait, Kamis (8/11) di kantornya, menyampaikan pernyataan terkait wacana pemberlakuan tarif di Pelabuhan Tabanio Kabupaten Tanah Laut yang mendapat reaksi sebagian pengguna jasa, (foto salman/brt)
Banjarmasin, BARITO – Pengusaha perusahaan pelayaran angkutan niaga yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners Association ( INSA) Kalimantan Selatan (Kalsel), menolak rencana Indonesia Multi Purpose Terminal (IMPT) memungut biaya jasa Pelabuhan Tabanio Kabupaten Tanah Laut.
IMPT sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) membuat konsesi dengan KSOP Banjarmasin di Pelabuhan Tabanio. Persoalan mulai muncul setekah ada wacana pungutan biaya jasa pandu, ship to ship, dan lainnya kepada INSA.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Wilayah Banjarmasin, Bambang Gunawan mengatakan, pengguna jasa bisa melakukan negosiasi atau penawaran terhadap besaran tarif yang akan dikenakan apabila dirasakan terlalu berat.
“Ini kan tarif lokal, bisa ditawar atau negosiasi, jakau tidak mau bayar, silahkan kirim surat ke pusat,” ujarnya di Banjarmasin, Kamis (8/11).
Bambang menilai wajar bila ada tarif yang dibebankan terhadap pengguna jasa di Pelabuhan Tabanio itu, karena IMPT sudah menyediakan sejumlah fasilitas dan dari pungutan, pemerintah menarik pajak sebesar 4 persen.
Dikatakan, rencana pemberlaklujkan tarif tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses cukup panjang dan beberapa kali dilakukan pertemuan. Bambang mempertanyakan, kenapa selama proses ini pengusaha di INSA, tidak memberikan pandangan,penawaran atau penolakan.
Lebih lanjut dikatakan, konsesi yang dilakukan di Pelabuhan Tabunio sudah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan hal serupa ujarnya, akan berlaku tidak saja di wilayah kerja KSOP Banjarmasin, namun secara nasional.
“Ada syarat-syarat bisa dilakukan konsesi dan di Tabunio, dinyatakan memenuhi syarat itu,” tegasnya sembari berniat melakukan pertemuan pihak terkait membahas masalah ini sehingga tidak ada kesalahpahaman.
Ketua INSA Kalsel Capten Nurdin menyebutkan, semua perjanjian itu tidak mengacu konsep ‘No Service No Pay’ – larangan mengutip biaya tanpa ada pelayanan jasa, terutama kegiatan bongkar muat.
Apalagi ujarnya, yang dikenakan tarif sebenarnya bukan sesuatu yang menjadi tanggungan bagi para pengguna jasa yang notabene anggota INSA. Sementara yang menjadi kegiatan di dalam ruang lingkup kegiatan BUP belum diberikan besaran tarifnya.
Nurdin menegaskan, pihaknya tetap menolak keinginan KSOP dan IMPT itu karena punya dasar kuat sesuai arahan dari DPP INSA yang tetap mengacu no service no pay.
Menurut dia, penerapan tarif yang akan diberlakukan IMPT belum tepat. Ia mengeluhkan IMPT mengutip tarif jasa barang dan jasa kapal ke pengguna jasa. “Tidak akan bisa dikutip, kalau tidak ada kesepakatan dengan asosiasi,” ujar Nurdin.
INSA meminta pemerintah harusnya memangkas biaya tinggi, bukan malah memaksakan aturan yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Di sisi lain, INSA turut menyayangkan pengenaan tarif pelabuhan yang tidak sesuai aturan.
Selain itu, dia berasumi kebijakan ini tak punya dasar kesepakatan kuat antara pelayaran dan operator pelabuhan. Nurdin menegaskan pengenaan tarif yang dimaksud adalah tarif jasa barang dan tarif progresif. Adapun tarif jasa barang merupakan tarif yang dikenakan operator pelabuhan untuk consignee atau shipper.
“Namun pada praktik di lapangan, operator pelabuhan mengenakaannya kepada pelayaran. Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee atau shipper,” katanya.
Adanya kebijakan ini membuat pelayaran mesti menanggung terlebih dahulu beban biaya tarif jasa barang. Setelah itu, pelayaran baru menagihnya kepada shipper. Nurdin menambahkan, pelayaran pun kemudian dipaksa menunggu lebih dulu tarif jasa barang di pelabuhan.
Nurdin menambahkan, tarif progresif tak bisa dibebankan ke pihak pelayaran selama keterlambatan produktivitas pelabuhan disebabkan oleh performa operator. Namun, jika keterlambatan itu disebabkan pihak pelayaran, maka tarif progresif menjadi beban pelayaran.
“Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran,” kata Nurdin.
Sementara, anggota INSA Kalsel, Jumadri Masrun juga kurang sepakat atas rencana pemberlakuan tarif bagi anggota INSA yang akan diterapkan IMPT. “Sebaiknya rencana itu ditunda dulu, karena terkesan dipaksakan. Apalagi IMPT itu kan perusahaan swasta,” kata Jumadi. slm/afd