LSM Tuding Pemerintah-DPR Beri Kado Pengusaha Tambang

Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari WALHI Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono( tengah, nomor 5 dari kiri, memakai topi) bersama aktivis Kalsel.(foto: ist)

Banjarbaru,BARITO – Sejumlah aktivis yang berkoalisi dalam #BersihkanIndonesia menuding pemerintah dan DPR memberikan kado berupa Omnibus Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) kepada pengusaha.

Melalui siaran persnya, Kamis (8/10/2020),  #BersihkanIndonesia melihat bahwa Omnibus Law Cilaka yang baru saja disahkan DPR RI telah mengonfirmasi atau memastikan bahwa UU tersebut adalah regulasi yang kontroversial.

UU itu, tulis #BersihkanIndonesia, diduga kuat merupakan pesanan dari oligarki, pengusaha tambang, terutama di sektor tambang batubara.

Setelah pemerintah dan DPR RI memberi “karpet merah” pada para pengusaha tambang melalui revisi Undang-Undang Minerba, tukasnya, kini dalam UU Cipta Kerja, pemerintah “mengobral” kekayaan alam Indonesia secara cuma-cuma melalui kelonggaran royalti hingga 0%.

“Saat negara menghadapi resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan dan meregang nyawa karena pandemi yang tak kunjung usai, Presiden Jokowi dan DPR RI justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batubara. Bailout itu difasilitasi dalam UU Cipta Kerja di paragraf 5 klaster energi dan sumber daya mineral Pasal 128A, [1] yang menyebutkan kelonggaran pembayaran royalti kepada pemerintah. Pemberian royalti 0% sama dengan memberikan batubara secara cuma-cuma kepada pengusaha batubara, mengkhianati amanat UUD ’45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Iqbal Damanik, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari Auriga Nusantara.

Iqbal menambahkan, insentif ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran yang beriringan dengan semakin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tidak layak huni.

Situasi ini, sambungnya   bertentangan dengan niat pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Aktivis itu menyebut , sejak tahun lalu sebelum pandemi, sejumlah perusahaan batubara besar sudah mengalami kesulitan keuangan, dengan utang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022.

“Moody’s Investor Services mencatat total utang perusahaan-perusahaan tersebut mencapai USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun yang akan jatuh tempo pada 2022 saja [2]. Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi. Sementara

melalui UU Cipta Kerja dan dengan menunggangi pandemi, kewajiban perusahaan untuk menyetorkan royalti kepada pemerintah akan diberikan diskon hingga 100%,” bebernya.

Artinya , jelas dia, relaksasi royalti ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga USD 1.1 miliar dan USD 1.2 miliar dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batubara.

Konflik Kepentingan Sementara itu, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari JATAM Nasional, Merah Johansyah melihat, UU Cipta Kerja sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para aktor oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur-baur.

“Sebanyak 50 persen isi anggota DPR dan pimpinan juga terhubung dengan bisnis batubara, bahkan Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batubara yang juga akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini sendiri,” ungkap dia.

Merah Johansyah mengatakan, “diskon” royalti hingga 100% ini akan menguntungkan perusahaan tambang. Sebaliknya, tulis Merah,  hal ini sama saja menggratiskan batubara demi menyelamatkan pengusaha, sementara bagi penerimaan negara dan daerah yang selama ini bergantung pada batubara akan turun drastis.

Kisworo Dwi Cahyono, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari WALHI Kalimantan Selatan menukas, di saat yang sama, eksploitasi justru terjadi di daerah.

Aturan ini menurutnya,  juga akan memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanahnya sendiri, biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan jadi buntung.

“Ini Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Investor?

Material atau sumber daya alam ini ada di daerah, dengan adanya izin tambang seumur tambang, dan royalti 0%, maka daerah hanya akan mendapat lubang tambang dan bencana saja. Ini sama saja negara kita dikangkangi investor,” tutur Kisworo Dwi Cahyono atau yang akrab disapa “Cak Kiss” itu.

Penulis: Cynthia

Related posts

Jelang Nataru, Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan Lakukan Sidak SPBU di Wilayah Kalsel

Dorong Penetrasi Digital Lewat SuperApp BYOND by BSI

PT Star Wagen Indonesia melakukan Handover Ceremony unit Dewatering Pump PAC SH128 Atlas Copco kepada PT Putra Perkasa Abadi