Banjarmasin, BARITO – Plt Kadis Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Maliki yang menjadi terdakwa pada perkara OTT di Kabupaten HSU mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC).
Permohonan diajukan saat persidangan berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin, Rabu ( 23/3).
“Izin yang mulia ingin mengajukan permohonan JC (Justice Collaborator),” ujar kuasa hukum Maliki, Mahyudin SH.
JC adalah dimana seorang pelaku tindak pidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.
“Kami mengharapkan sekali majelis hakim bisa menyetujui JC yang diajukan, yang tentunya bisa menjadi pertimbangan majelis untuk meringankan hukuman terdakwa,’’ ujar Mahyudin alias Martin kepada wartawan
Sementara Jaksa Penuntut Umum dari KPK Tito SH MH mengatakan kalau dalam persidangan terdakwa sudah mengakui perbuatannya.
“Ya silahkan kalau Maliki mengajukan JC, toh dia juga sudah mengakui semuanya di persidangan. Keterangan terdakwa sesuai BAP, tidak ada perubahan dari dia jadi saksi sampai terdakwa,” kata Tito.
Tito menilai Maliki selama ini sudah bersikap kooperatif untuk membuka tabir skandal korupsi di lingkuo Pemkab HSU . termasuk peran Abdul Wahid selaku bupati.
“Untuk membuka peran atasannya dalam hal ini Pa Abdul Wahid . itu yg kami kejar,” ujarnya.
Ditanya sikap kooperatif apakah bisa meringankan hukuman Maliki? Tito menjawab bisa saja.
“Pastinya akan kita pertimbangkan apakah memenuhi kriteria yang diatur SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai pelaku yang bekerjasama,” ucap Tito.
Sementara itu dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, kepada
majelis hakim yang di pimpin hakim Jamser Simanjuntak didamping hakim adhock Ahmad Gawie dan Arif Winarno, terdakwa mengakui adanya fee yang di bebankan kepada kontraktor.
Dalam hal ini sebesar 15 persen dari nilai kontrak yani 10 persen untuk Bupati Abdul Wahid dan 5 persen untuk tedakwa yang digunakan sebagian besar untuk operasional sementara dan menerima tamu.
Dulu kata terdakwa besaran fee ini hanya dikisaran 7 persen, yakni 5 persen untuk Bupati dan 2 persen untuk dirinya.
“Umumnya fee untuk bupati tersebut saya serahkan kepada ajudan bernama Abdul Latif secara bertahap,’’aku Maliki.
Seperti diketahui terdakwa mantan Plt Kepala Dinas PUPRP Kabupaten HSU Maliki, yang terkena OTT KPK di Amuntai, di dakwa telah menerima uang dari Marhaini Direktur CV Hanamas sebesar Rp300 juta dan dari Direktur CV Kalpataru Fahriadi sebesar Rp240 juta . Pemberian tersebut terkait adanya dua proyek sumber daya air agar kedua perusahaan tersebut dapat mengerjakannya. Dan pembayarananya tersebut dilakukan secara bertahap.
Pemberian ini sudah diatur dalam komitmen fee antara kedua pemborong tersebut untuk mendapatkan pekerjaan atas persetujuan Bupati HSU Abdul Wahid, dimana fee yang disepakati adalah 15 persen dari pagu anggaran. Fee tersebut di peruntukan untuk Bupati dan sebagian dinikmati terdakwa sendiri.
Kedua pimpinan perusahaan yang disidang secara terpisah tersebut terpaksa menyetujui pemberian fee ini agar memperoleh pekerjaan. Proyek yang dikerjakan tersebut di tahun 2021, diantaranya ada pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah Desa Kayakah Kec Amuntai Selatan dengan nilai pagu Rp2 M yag dikerjakan CV Hanamas. Sementara CV Kalpataru ditunjuk sebagai pemenang pekerjaan DIR di Banjang dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1.555.503.400
Atas perbuatan terdakwa yang melanggar ketentuan selaku pejabat negara, JPU dalam dakwaannya pertama melanggar pasal 12 huruf a dan kedua pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Filarianti Editor : Mercurius