Manfaat Mudharat Jika NU Berpolitik Praktis

Oleh : HM. Syarbani Haira *)

MEMPERHATIKAN konstelasi politik banua dewasa ini, khususnya selama tahun 2020 lalu (khususnya jelang Pilkada 09 Desember 2020), serta jelang PSU 09 Juni 2021, timbul tenggelam gundah gulana, melihat actor-aktor aktivis politik, wabil-khusus para pendukung dan tim sukses masing-masing pasangan calon yang akan bertarung di PSU besok. Bagaimana tidak ! Mereka bisa saling bully setiap saat, saling cerna, saling cemooh, serta beragam ujaran kebencian yang berkelindan satu sama lain. Fenomena ini sesungguhnya bukan menjadi bagian, atau culture dari masyarakat Banjar, yang terkenal religious, toleran, santun dan tepo seliro.

 

Ironisnya, perilaku tiak kondusif itu juga melanda jemaat NU, atau minimal mereka yang mengaku NU. Saling cemooh tak saja terjadi antara jemaat NU dengan comunitas lainnya, melainkan juga melanda antar sesame jemaat NU itu sendiri. Sebuah group WhatApp jemaat NU yang tanpa sengaja diikutkan, saya eksis sebagai penonton yang baik. Saya menahan diri untuk tidak coment, pun tidak like. Ini dilakukan, karena saya tercatat dalam sejarah NU di bumi Antasari ini sebagai Ketua Tanfidziah PWNU Kalimantan Selatan dua periode, masa khidmat 2007 – 2017, setelah sebelumnya menjadi Sekretaris Tanfidziah, Wakil Sekretaris, dan beberapa kali mengelola lembaga NU di banua ini. Sebagai Ketua Tanfidziah PWNU, saya kerap dating ke berbagai pelosok banua ini, untuk memberikan pencerahan ke-NU-an. Salah satu doktrin yang selalu saya sampaikan adalah spirit kemasyarakatan orang NU yang tawasuth, tasamuh, dan tawazun.

 

Sungguh ironis sekali jika saya yang pernah menjadi orang nomor “satu” di jajaran Tanfidziah PWNU ikutan debat soal politik praktis, dan dukung mendukung dalam kontestasi politik, yang menurut norma serta aturan di NU sudah talak 3 (tiga) sejak Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Hingga detik ini, secara formal AD/ART NU tetap mencantumkan aturan tersebut, termasuk hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, tahun 2015 silam. Jika hari ini masih ada actor-aktor politik yang tetap nongkrong dalam struktur NU, ya itu soal sikap dan karakter pemimpinnya. Mereka mungkin tak setuju dengan AD/ART NU, serta memberikan tafsir versi mereka itu sendiri.

 

Tetapi sesungguhnya, jika para jemaat dan pemimpin NU itu mau mempelajari ulang qaidah yang selama ini menjadi pegangan NU, dari ulama-ulama ahlussunnah wal-jamaah yang mereka yakini benar dan rasional, maka keruwetan-keruwetan yang melanda jam’iyah NU, berikut jamaahnya, tentu tak akan terjadi. Misalnya, terkait jemaat NU rame-rame berpolitik praktis, sekali lagi berpolitik praktis, maka qaidah yang berbunyi “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan lebih baik daripada mengambil keuntungan) menjadi relevan sebagai bahan pertimbangan. Apa untungnya bagi NU jika jam’iyah NU diboyong ke kehidupan politik praktis ? Inilah yang harus diintrospeksi oleh elite dan jemaat NU.

 

Secara pribadi, pasti ada keuntungannya. Bahkan mungkin sangat banyak. Mulai dari material, hingga jabatan-jabatan. Namun secara institusi, justru banyak mudhoratnya. Barangkali kita tak bisa melupakan, ketika NU dipaksa oleh rezim Orde Baru di bawah Soeharto yang menerapkan penyederhanaan partai politik, di mana NU harus bergabung PPP. Gara-gara NU bergabung PPP ini, hingga sekarang saya masih terngiang di telinga cerita Allah Yarham KH. Syafriansyah, BA, Ketua PWNU Kalsel tahun 1980-an. Menurut beliau, sedikitnya 5.000 lembaga pendidikan milik NU hilang. Kenapa ? Karena jika sekolah-sekolah itu masih memasang label NU di papan nama sekolahnya, entah yang berada di bawah Departemen Agama atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (ini istilah era Orde Baru), dikondisikan untuk mati suri. Karena tekanan yang dahsyat itulah, akhirnya lembaga pendidikan milik NU itu berubah nama. Dari semula milik LP Ma’arif NU (Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama) kemudian berubah, ada yang menjadi milik pribadi, dan sebagian di “rampok” lembaga lain. Kejadian yang tak kalah ironisnya adalah bubarnya Universitas NU Banjarmasin, pasca Pemilu 1971. Kampus harapan warga NU banua ini tak sampai meluluskan alumninya, justru mudar tanpa jelas di mana kuburnya.

 

Itulah sebabnya, pasca Pemilu 1982 para elite dan tokoh NU menggagas NU stop berpolitik praktis. Puncaknya, Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan “Khittah 1926”. Kenapa Khittah 1926 ? Karena NU 1926 itu NU pure buat dakwah ahlussunnah wal-jamaah, tak menyentuh politik praktis. Kenapa harus bebas dari politik praktis ? Karena mudharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya. Lihat saja mereka atau elite NU yang selalu terlibat politik praktis itu, jarang-jarang ngurus NU dengan baik. Bagaimana ngurus NU dengan baik, punya kantor secretariat saja tak ada. Bagaimana bisa muncul ide dan gagasan brilliant ngurus NU ? Wong tempat rapat saja nggak punya. Jauh sekali mereka bisa melaksanakan proses organisasi dengan baik, seperti pengkaderan, rapat kerja, bahtsul masail, dll. Karena mereka nggak punya wadah, nggak ada kantor buat rapat. Inilah mudharatnya jika NU terus berpolitik praktis. Ternyata, jika NU di bawa ke ranah politik praktis, justru lebih besar mudharatnya, ketimbang manfaatnya. Wallahu’alam bissawab !

 

*) Dosen Universitas NU Kalsel

Related posts

Mengatasi Stres dari Sumber yang Tidak Terduga

Menyambut Positif Pidato Prabowo, Menyoroti Mandiri Pangan & Energi

Dua Prahara di Kalsel Membuat Jargon Babussalam Dipertanyakan