Menguak Sosiokultural ’Urang Banjar’ dalam Novel Augustan
Banjarmasin, BARITO – Sri Naida atau Naidee, anggota DPRD Kota Banjarbaru periode 2014-2019, resmi meluncurkan novelnya yang berjudul “Augustan”.
Peluncuran buku ditandai dengan acara bedah buku di RRI Banjarmasin, Ahad (20/10) siang, dengan moderator HE Benyamine, pembicara Budi Dayak dan Sandi Firly yang merupakan penulis dan wartawan yang bertindak juga sebagai editor.
Kepada pers, Sri Naida mengungkapkan novel setebal 560 halaman tersebut merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi.
Tujuan dirinya mengangkat tradisi Banjar dalam novel tersebut, diantaranya untuk lebih merekatkan kekerabatan warga Banjar agar semakin mencintai daerahnya.
Dia juga mengajak warga Banjar untuk mewujudkan rasa cinta itu. ‘’Artinya, tidak cukup hanya mengaku cinta, melainkan harus bertindak nyata,’’ ujarnya.
Dalam novelnya tersebut, Sri Naida membingkai potret “urang Banjar” melalui narasi dan mengulas pergulatan batin dan konflik dari tokoh utama seorang perempuan bernama Syahnur Johansyah.
“Tokoh utama adalah seorang perempuan yang berjuang dan berusaha membangun keluarganya di tengah konflik yang terjadi di lingkungan dan tradisi yang ada ,” ujarnya kepada wartawan menceritakan sekilas tentang novelnya.
Lebih jauh Sri Naida yang pernah menjadi pemimpin redaksi majalah di kampus tempat dia kuliah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, untuk sementara novel diedarkan terbatas di kalangan rekan sejawat.
‘’Selanjutnya akan dicetak dan bekerjasama dengan toko buku untuk dijual sebanyak 2.000 eksemplar,’’ ujarnya.
Naida menargetkan novelnya terjual satu juta eksemplar dan bahkan berharap dapat diangkat ke layar lebar. Karena novel tersebut, menurutnya, ber-setting khas Kalsel. Misalnya, kehidupan di delta dan sungai-sungai serta menguak tradisi warga Banjar.
Pada bedah buku tersebut, salah satu pembicara, Budi Dayak mengatakan, novel Augustan menggambarkan secara gamblang tentang “urang Banjar”.
“Misalnya masyarakat Banjar yang sangat menghormati tuan guru (ulama,red). Kemudian ada kelompok yang menguasai sektor ekonomi dan sebagainya juga dituangkan dalam novel ini,” ujarnya.
Budi berpendapat, novel tersebut menjadi tantangan bagi generasi sekarang yang, menurutnya, terkesan tidak “sekuat” generasi sebelumnya dalam membaca buku.
Generasi dulu, imbuhnya, mampu membaca buku berjilid-jilid misalnya Kho Ping Hoo dalam waktu singkat.
Pada peluncuran novelnya, Sri Naida didampingi sang ayah, H Syukran Nasir.
Sang ayah mengatakan, dirinya mendorong semua anaknya untuk mengenyam pendidikan minimal sarjana. Sebagai anak sulung, Sri Naida menjadi harapan orangtuanya sebagai motivator bagi adik-adiknya.
” Saya berikan kebebasan kepada anak-anak untuk berekspresi. Sri Naida ini punya talenta dan novel ini merupakan keberhasilannya. Salah satunya dalam hal menggali akar budaya daerah khususnya juga tradisi dalam keluarga kami,” jelasnya.
tya