Mengapa Golkar Jadi Pilihan Paling Aman bagi Tuan Guru Bajang?

by admin
0 comments 8 minutes read

Kakek Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi bernama Zainuddin Abdul Majid, seorang pemuka agama Islam terkemuka di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia bergelar Tuan Guru Kiai Haji (TGKH). Namun, karena lahir di Pancor, dia juga akrab dipanggil Tuan Guru Pancor (TGP). Ada juga yang menyebutnya Tuan Guru Hamzanwadi, akronim namanya.

 

TGP mendirikan pesantren Pondok Pesantren Al-Mujahidin di Lombok pada 1934. Pada 22 Agustus 1937, ia membangun Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) yang dikhususkan bagi laki-laki. Beberapa tahun kemudian, TGP mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) khusus untuk perempuan.

 

TGP pun akhirnya bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang didirikan pada 1926 oleh Kiai Hasyim Asyari di Jawa Timur. Menurut artikel Abdurrahman Wahid, “Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU”, yang dimuat di Kompas edisi 23 Februari 1996, NU dibawa ke Lombok oleh Syekh Abdul Manan. Setelah Abdul Manan meninggal, kepimpinan NU di Lombok dipegang TGP dan muridnya, Tuan Guru Faisal. Saat itu, NU masuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai politik yang dibentuk pada 1946 melalui penggabungan sejumlah organisasi masyarakat berhaluan Islam.

 

Pada 1950, TGP diangkat sebagai konsulat Masyumi untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan NTB sekarang). Ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952 dan menjadi partai politik tersendiri, TGP tetap di Masyumi, sedangkan Tuan Guru Faisal ikut NU. Pada tahun itu, TGP diangkat sebagai ketua Badan Penasehat Masyumi Daerah NTB. Setahun kemudian, TGP mendirikan Nahdlatul Wathan (NW).

 

TGP memang menyatakan NW tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Namun, TGP terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Masyumi melalui Pemilu 1955. Pada Pemilu Anggota DPR 1955, Masyumi pun mendulang suara terbanyak (47,7%) di NTB.

 

Pada 1960-an, situasi politik di Indonesia berubah. Masyumi dibubarkan pada 1960. Lima tahun kemudian, peristiwa G30S terjadi. PKI dituding melancarkan pemberontakan. Anggota dan simpatisannya diburu lalu dibunuh, termasuk di NTB.

 

“Pada November 1965, kelompok pemuda muslim di Lombok yang dibekingi militer, mulai membunuh setidaknya 11 ribu ‘komunis’ Sasak karena keterlibatan mereka dalam reforma agraria dan program kesejahteraan rakyat yang dipopulerkan PKI pada 1960-an,” sebut John M. MacDougall dalam “Criminality and The Political Economy of Security in Lombok” (2007, PDF).

 

Pada 1967, Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden. Golongan Karya (Golkar) muncul sebagai kendaraan politik Soeharto di ranah legislatif. Sebagaimana provinsi lain di Indonesia, NTB dikuasai Golkar semasa Orde Baru. Suaranya pada Pemilu 1971 sebesar 76,12 persen. Sementara Partai NU hanya mampu memperoleh 12,08 persen di NTB.

 

Suara Golkar semakin tidak terkejar setelah pemerintahan Orde Baru memberlakukan fusi partai pada 1973: yang nasionalis dan non-islam digabung dalam PDI, sedangkan yang islam digabung dalam PPP. Di 5 Pemilu berikutnya, Golkar terus memuncaki perolehan suara di NTB.

 

TGP turut berperan membesarkan nama Golkar di NTB. Laporan Tempo edisi 21 Februari 1987 menyebut TGP terkesan dengan kelahiran Orde Baru, khususnya karena mampu memberangus PKI. Ia pun tampil sebagai juru kampanye Golkar di NTB pada Pemilu 1971 dan 1977. Lewat dua Pemilu itu, TGP dipilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili NTB.

 

Namun, kebersamaan TGP dan Golkar tidak abadi. Pada Pemilu 1982, dia tak lagi mengampanyekan Golkar.

 

“Saya sudah tua. Saya ingin mencurahkan waktu untuk pendidikan dan pengajaran agama saja,” ujar TGP, seperti dilansir Tempo.

 

TGP lantas mengumumkan anggota NW bebas memilih partai pilihan mereka sendiri. Namun, dia juga bilang agar bendera NW digantung, diikat, dan dikibarkan di pancoran emas di Kabah. Dia juga menyampaikan teka-teki berupa tiga patah kata bahasa Arab berbunyi “ban-bin-bun” untuk menggambarkan pilihan anggota NW. Itu adalah singkatan dari banteng, bintang, dan bunut (beringin).

 

Ada sejumlah faktor, menurut laporan Tempo, yang kemungkinan bikin TGP kecewa terhadap Golkar: peran NW menciut di Golkar; bantuan Rp50 juta yang tak kunjung datang; dan batalnya pencalonan menantu TGP, Wiresentane, sebagai bupati Lombok Timur.

 

Hal-hal itu yang mengarahkan orang hingga menafsirkan Kakbah dalam pernyataan TGP adalah PPP, partai berlambang kakbah. Teka-teki TGP juga menyiratkan bahwa dia cenderung memilih PPP.

 

Akibat pembelotan itu, Wirasentane di-recall dari anggota DPR pada Mei 1982. Dalam “The Perils of Private Security in Indonesia: Guards and Militias on Bali and Lombok” (2001), MacDougall menulis bahwa banyak pengikut TGP ditangkap dan diintimidasi. Bantuan pemerintah ke NW pun dipangkas. Akhirnya, TGP kembali mendukung Golkar dari menjelang Pemilu 1987 hingga akhir hayatnya (1997).

 

Politik “Ban-Bin-Bun” ala Zainul Majdi

Politik “ban-bin-bun” yang diungkapkan TGP tampaknya cukup menggambarkan manuver cucunya, TGB Zainul Majdi, di dunia politik.

 

Selepas TGP meninggal, NW pecah. Dua muktamar diselenggarakan pada 1998 oleh dua kelompok NW berbeda yang masing-masing dipimpin seorang anak perempuan TGP. Kelompok pertama dipimpin Raihanun, kelompok kedua dipimpin Raihun. Pada tahun yang sama, Soeharto lengser. Golkar bertransformasi menjadi partai politik konvensional yang kemudian dipimpin Akbar Tanjung.

 

Syahdan, Raihanun terpilih sebagai ketua NW. Namun, karena mendapat tekanan, dia memindahkan pusat NW ke Anjani. Sementara pihak Raihun memilih putranya, Zainul Majdi, dan menetap di Pancor. Kubu Raihanun akhirnya dikenal sebagai NW Anjani, sedangkan kubu Raihun yang sampai sekarang dipimpin Zainul Majdi, disebut NW Pancor.

 

Pada Pemilu 1999, Golkar meraih 42 persen suara pemilih di NTB. Saat itu, NW yang dipimpin Zainul tidak berafiliasi dengan Golkar, melainkan dengan Partai Daulat Rakyat (PDR). Yang berafiliasi dengan Golkar justru NW Anjani.

 

Lima tahun kemudian, melalui Pemilu 2004, Zainul terpilih sebagai anggota DPR lewat PBB. PBB dan PKS, kemudian, mengusungnya sebagai gubernur di Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTB 2008. Di Pilgub tersebut, NW Anjani mendukung Lalu Serinata, politikus Golkar yang juga petahana gubernur. Alhasil, Zainul menang.

 

Tiga tahun berselang, Musyawarah II DPD Demokrat NTB yang digelar pada April 2011 memilih Zainul sebagai ketua DPD Demokrat NTB periode 2011-2016. Dari PBB, Zainul pun pindah ke Demokrat.

 

Demokrat, bersama enam partai lainnya (termasuk Golkar), mengusung Zainul lagi sebagai kandidat gubernur di Pilgub NTB 2013. Zainul kembali meraih kemenangan.

 

Beringin di Bumi Tuan Guru

Zainul bertahan di Demokrat hingga tahun ini. Pada 23 Juli 2018, dia menyatakan mengundurkan diri dari partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.

 

Hal itu disampaikannya setelah menyatakan dukungan kepada Jokowi untuk maju sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pada Pemilu sebelumnya, Zainul tidak mendukung Jokowi, melainkan Prabowo. Di NTB, Jokowi kalah telak dari Prabowo. Perolehan suaranya tak sampai 30 persen.

 

Keluarnya Zainul dari Demokrat dapat dibaca dalam konteks persaingan menuju Pilpres 2019. Saat itu, Demokrat belum menyatakan arah dukungannya, sedangkan Zainul masuk radar kandidat calon wakil presiden pendamping Jokowi. Selain itu, Demokrat tampaknya sudah memiliki kandidat kuat untuk capres atau cawapres: Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY.

 

Pada akhirnya Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres pendampingnya. Jokowi-Ma’ruf akan menghadapi Prabowo yang menggandeng Sandiaga Uno, eks wakil gubernur DKI Jakarta, sebagai cawapresnya.

 

Sejak keluar Demokrat, Zainul berulangkali mengatakan belum berencana pindah ke partai lain. Saat Nasdem mengklaim dirinya sebagai anggota pekan lalu, TGB cepat-cepat membantahnya. Bantahan itu kini terjelaskan. Pada 20 Desember 2018, TGB menyatakan diri bergabung ke Golkar, partai yang dulu juga menjadi labuhan kakeknya.

 

“Jadi tentu komunikasi memang sudah cukup lama. Dan, Partai Golkar partai tengah yang kokoh padanya nilai meritokrasi,” ujar Zainul mengungkapkan alasannya bergabung ke Golkar.

 

Ulla Fionna menuliskan dalam “The Trap of pop-charisma for The Institutionalization of Indonesia’s post-Suharto Parties” (2016) bahwa Demokrat partai berpemimpin-tunggal. Partai jenis ini juga mencakup Gerindra, Hanura, dan Nasdem.

 

Demokrat bertumpu betul pada sosok SBY. Ia bertahan sebagai pemimpin tunggal terpopuler di Demokrat setelah Pemilu 2014. Akibatnya, Demokrat kesulitan mencari pemimpin populer baru lainnya. Zainul dan tiga eks kepala daerah anggota Demokrat yang menyatakan dukung Jokowi pada medio 2018 kemarin (Soekarwo, Lukas Enembe, Deddy Mizwar) sebetulnya memiliki popularitas dan jam terbang tinggi di politik dan pemerintahan.

 

Namun, peneliti politik yang berkantor di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez mengatakan keluarga Cikeas terlalu mendominasi Demokrat. Empat kader Demokrat itu tidak mampu berkarir politik secara terbuka di Demokrat.

 

Lain keadaannya dengan Golkar. Ketua umum partai ini diganti secara periodik lima tahun sekali melalui Musyawarah Nasional (Munas). Sejak 1998, Ketua Umum Golkar telah berganti sebanyak 4 kali.

 

Dalam Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era (2007), Dirk Tomsa mengatakan bahwa keanggotaan partai adalah satu-satunya nilai yang ditawarkan Golkar. Tomsa menunjukkan bagaimana para politikus yang ia wawancarai mengungkapkan alasannya masuk Golkar karena infrastruktur partai memberi mereka kesempatan untuk memenuhi ambisi politik mereka sendiri. Ambisi tersebut terbentang dari idealisme hingga egoisme murni. Golkar pun secara baik memanfaatkan aspirasi kader-kadernya yang beragam itu.

 

“Memang, Golkar membutuhkan kliennya [baca: anggotanya] sama seperti klien membutuhkan partai tersebut,” sebut Tomsa.

 

Sementara itu, pasca Pemilu 1999, perolehan suara Golkar pada Pemilu Anggota DPR turun drastis di NTB, meskipun pada Pemilihan Anggota DPRD Provinsi NTB Golkar selalu memperoleh kursi terbanyak sehingga jabatan Ketua DPRD Provinsi NTB tidak pernah tidak dijabat kader Golkar.

 

Pada Pemilihan anggota DPR 2004, partai berlambang beringin ini hanya mendapat 24 persen suara. Pada 2009, Golkar memperoleh dua kursi dari Dapil NTB. Namun, pada Pemilu 2014, Golkar hanya memperoleh satu kursi.

 

Melihat modal sosial yang dimiliki Zainul serta jejak historis hubungan Golkar dan NW, maka Golkar bakal diuntungkan. Golkar juga selalu ingin menjadi partai pendukung pemerintah. Jadi, siapapun pemenang Pilpres 2019, Golkar akan selalu berada di samping mendukungnya. Hal-hal itu lah yang membuat Golkar sebagai pilihan paling aman yang dimiliki Zainul.

 

 

Sumber: tirto.id

 

Baca Artikel Lainnya

Leave a Comment