Mewujudkan Kesejukan di Bawah Naungan Ramadan

RAMADAN tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya ialah waktunya yang berdekatan dengan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Ditambah pascapemilu, suasana menghangat karena berbagai isu simpang siur yang tidak lepas dari hasil pemilu itu sendiri. Sebagai muslim, kita tentu mafhum jika Ramadan ialah bulan mulia yang harus diisi dengan aktivitas ubudiyah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerukan kepada umat Islam untuk menghadapi Ramadan dengan khusyuk dan tawadu. Secara bahasa, khusyuk berarti tunduk atau pasrah, bisa juga didefinisikan sebagai merendah. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT, “Dan (khusyu’) merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Mahapemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja.” (QS. Ath-Thaha: 108)

Sementara itu, tawadu berarti kerendahan hati dan mengakui bahwa kekuatan hanya bersandar pada Allah SWT. Sayyid Abdullah bin Alawi al Haddad dalam kitabnya yang berjudul Risaalatul Mu’awanah wal Mudhaharah memberikan ciri-ciri orang yang tawadu, di antaranya bersedia menerima kebenaran dari siapa pun dan tidak menyukai popularitas.

Mengapa khusyuk dan tawadu sangat penting bagi umat untuk menyongsong Ramadan. Di tengah polemik hasil pemilu, tentu konstelasi politik memberi pengaruh bagi kehidupan masyarakat. Tanpa kerendahan hati, ditambah dengan sikap beberapa kalangan yang memaksakan kehendak, maka itu tentu akan berpengaruh buruk pada kondusivitas bulan suci.

MUI memiliki kewajiban untuk mendinginkan suasana yang panas itu. Sebagai organisasi yang bertugas mempersatukan umat (tauhidul ummah), membimbing umat (ri’ayatul ummah), dan menjaga umat (himayatul ummah), MUI telah menghasilkan butir-butir pedoman untuk kemudian diimplementasikan. Komisi Fatwa MUI telah melaksanakan ijtimak ulama sejak 2003 hingga terakhir 2018, yang salah hasilnya ialah peneguhan bentuk dan eksistensi NKRI. Selain itu juga mengenai prinsip ajaran Islam tentang hubungan antarumat beragama dalam bingkai NKRI.

Hasil ijtimak tersebut menjadi sangat relevan pada saat ini, di saat hubungan antarumat renggang karena hasil pemilu. Tentunya, hal ini tidak boleh dibiarkan karena apa pun hasil pemilu, hubungan antarumat Islam (ukhuwah islamiyah) dan hubungan sesama manusia (ukhuwwah basariyah), tidak boleh terputus.

MUI memiliki kepentingan yang besar atas kondisi umat saat ini. Dengan wewenang yang dimilikinya, MUI menyerukan pentingnya seluruh elemen bangsa, lebih khusus umat Islam untuk menjaga kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara, senantiasa memelihara ukhuwah dan persaudaraan, serta menghindari rasa saling curiga.

Hoaks, saling tuding, adu domba dan fitnah menjadi ancaman yang dapat saja merusak hubungan sesama umat. Rasulullah SAW telah bersabda, “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta (qaulaz zuur), mengamalkannya dan bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh terhadap sikapnya meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (HR Bukhari).

Dalam term saat ini, hoaks bisa diartikan sebagai qaulaz zuur (perkataan dusta) yang berakibat hilangnya pahala puasa seseorang. Imam al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengategorikan muslim yang puasa tetapi terbiasa dengan perkataan dusta sebagai orang yang puasa di tingkatan awam. Dia hanya menahan lapar dan haus, tapi tidak menahan hati dan mulutnya dari kebiasaan berdusta. Jika umat hanya memahami puasa secara demikian, puasanya tidak bermanfaat.

Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR At-Thabrani dalam Al Mu’jam al Kabir). Puasa Ramadan meniscayakan kemampuan mengendalikan diri dari caci maki, saling curiga, hoaks, fitnah, dan adu domba yang menjadi pangkal disharmoni dan disintegrasi bangsa.

Kemaslahatan umum
Dalam menetapkan fatwa, Komisi Fatwa MUI senantiasa merujuk pada kaidah-kaidah agama. Ushul fiqh merupakan pijakan MUI dalam memahami kaidah hukum, teori dan sumber-sumber terperinci dalam memformulasikan sebuah hukum khususnya terkait sebuah persoalan kekinian. Masholihul mursalah (kemaslahatan umum) adalah tujuan dari ditetapkannya sebuah hukum. Kemaslahatan yang dimaksud adalah tercapainya tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terlindunginya lima hak dasar kemanusiaan (al-dharuriyyat al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta.

Kemaslahatan yang dibenarkan syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Selain itu, kemaslahatan yang dapat dijadikan landasan hukum adalah kemaslahatan hakiki, yakni mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Kemaslahatan yang dijadikan landasan hukum harus bersifat pasti (qathi’ah), terbukti dalam kenyataan (muhaqqaqah), umum, berkelanjutan dan jangka panjang, bukan bersifat spekulatif (mawhumah), individual, dan sesaat.

Terkait dengan problematik politik nasional saat ini, MUI berpijak pada kaidah yang menyebutkan penyelenggara negara sebagai pengemban amanah untuk mengelola urusan publik harus mendahulukan kepentingan yang bersifat umum dan menjaga kemaslahatan masyarakat banyak, di atas kepentingan perorangan dan golongan.

Atas dasar itulah, MUI menolak segala bentuk sikap, tindakan ataupun perbuatan yang mengancam kepentingan masyarakat banyak. Kaidah fiqh secara tegas menyebutkan hukm al-hakim ilzam wa yarfau’ al-khilaf (keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan kontroversi). Dalil tersebut menunjukkan kewajiban rakyat mengikuti keputusan hakim (pemerintah) selama tidak bertentangan dengan nash Alquran dan hadis.

Komisi Fatwa MUI pun menegaskan keputusan pemerintah dalam masalah-masalah khilafiyah (perbedaan) yang menyangkut kepentingan publik demi kemaslahatan umum, wajib ditaati. Dalam hal ini, umat Islam wajib meninggalkan egoisme kelompok (ananiyyah thaifiyyah) demi persatuan dan kesatuan umat Islam.

Menjelang masuknya bulan suci Ramadan, kita tentunya mengharapkan konstelasi politik tidak berakhir secara negatif. Kita tidak menginginkan adanya benturan antarsesama umat. Umat harus disadarkan atas komitmen kebangsaan yang telah ditorehkan para pendiri bangsa sehingga kita semua dapat hidup berdampingan secara harmonis di atas prinsip mu’ahadah (terikat perjanjian) dan muwatsaqah (terikat sesama anak bangsa).

Kita tidak mungkin memaksakan kehendak atas pribadi atau kelompok masing-masing. Indonesia sebagai bangsa yang besar merupakan ikhtiar yang diperoleh melalui perjuangan gigih para pendahulu kita. NKRI telah final dengan ideologi negara adalah Pancasila dan konstitusi kita UUD 1945. Kesepakatan ini tentunya mengikat seluruh elemen bangsa.

*) ASRORUN NI’AM SHOLEH , Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Related posts

Poltekkes Banjarmasin Launching Wisata Sehat dan Gelar Kegiatan di Kampung Hijau

Pemprov Kalsel Ikuti Uji Publik Keterbukaan Informasi di KIP RI

Wartawan Barito Post Anang Fadhilah Lulus jadi Penguji UKW Dewan Pers