NU, Politik Imajiner dan Kerajaan Halu

by admin
0 comments 5 minutes read

Oleh: Dr. M. Suriani Shiddiq, S.Ag, M.Si*

 31 Januari lalu genap 94 tahun usia Nahdatul Ulama (NU). Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan mungkin di dunia, NU mengalami dinamika yang teramat beragam sepanjang sejarahnya. Peran NU sudah tak diragukan lagi bagi umat Islam dan bangsa ini.

 

Peran NU dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara boleh dikatakan sangat komprehensif, bahkan semenjak resolusi jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari di era kemerdekaan, NU memainkan peran strategis dalam semua bidang kehidupan masyarakat Indonesia.

 

Meski sejak khittah 1926 NU menyatakan diri tak ikut berpolitik praktis, senyatanya NU tak dapat melepaskan diri dari dinamika politik yang terjadi di tanah air. Peran politik NU adalah politik kebangsaan, politik keummatan, politik kerakyatan. Politik yang beretika dan politik yang tidak semata beroritentasi kekuasaan.

 

Pun demikian di bidang pendidikan, NU memainkan peran penting dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa melalui ribuan pesantren mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

 

Di bidang kesehatan, NU juga mengambil peran dengan mendirikan sejumlah fasilitas kesehatan mulai dari klinik hingga rumah sakit. Demikian juga di bidang ekonomi, NU mendirikan banyak koperasi, minimarket, lembaga amil zakat (LIZIZNU) hingga lembaga-lembaga ekonomi kreatif berbasis pesantren.

 

Secara khusus bahkan Ketua Umum PBNU KH Agil Siraj pada harlah NU ke-94 ini mengkritisi masih banyaknya terjadi ketimpangan di bidang ekonomi. Dari lima sila dalam Pancasila, mulai sila pertama hingga sila keempat implementasinya relatif bagus, hanya sila kelima yaitu keadilan sosial yang perlu pembenahan lebih baik (Kompas, 31/1/20). Ini menandakan bahwa NU memang tidak mau main-main memikirkan nasib bangsa. Lalu, apa peran NU dalam konstelasi politik tanah air?

 

Politik Imajiner

 

Menyongsong Pemilukada serempak pada 23 September 2020 mendatang, NU juga sangat diharapkan mengambil peran untuk turut mensukseskan hajat nasional tersebut. Bagaiman caranya?

 

Sama seperti sebelumnya, tanpa bermaksud mengesampingkan peran ormas lainnya, NU tetap harus menjadi lokomotif perubahan dan pionir penyeimbang di tengah potensi konflik yang mungkin saja terjadi. Terutama di tengah jamaknya perilaku politik imajiner yang dimainkan masyarakat Indonesia, baik sebagai kontestan politik (baca; calon kepala daerah) maupun sebagai pemilih.

 

Bagi kontestan politik, politik imajiner adalah politik janji buta alias janji tanpa fakta. Sejatinya pemilukada memang merupakan ajang kontestasi gagasan, ide dan desain masa depan. Setiap kontestan pemilukada baik calon gubernur, bupati atau walikota, memang diharuskan memiliki visi dan misi membangun daerahnya. Sayangnya, seringkali adu gagasan itu berhenti hanya sampai pada saat kampanye saja, setelah dia terpilih apa yang dijanjikan itu pun diabaikan. Alih-alih berusaha merealisasikan semua gagasannya itu untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat, ketika terpilih menjadi kepala daerah, ia sibuk membangun citra diri namun miskin implementasi. Sang kepala daerah terjebak dalam rutinitas seremoni, dan hampir semua anggaran habis hanya untuk memoles citra palsu sang kepala daerah itu.

 

Praktek politik imajiner sebenarnya dibutuhkan tidak semata sebagai bumbu kontestasi politik, tetapi sebagai alat ukur seorang calon kepala daerah untuk memiliki program yang memang dibutuhkan masyarakat yang akan dipimpinnya. Ironisnya, kemampuan itu kurang dimiliki oleh hampir semua calon kepala daerah. Ibarat seorang koki, calon kepala daerah kurang kompten meracik “bumbu masakan” dalam bentuk visi-misi yang akan disajikannya kepada masyarakat, sehingga masyarakat pun tak bisa merasakan “hidangan” (program pro rakyat) yang layak “disantap”.

 

Bagi NU, hasrat politik imajiner yang mengabaikan janji politiknya semasa kampanye seperti ini harus dijadikan salah satu evaluasi dan kritik yang terus menerus disampaikan. Momen usia NU yang hampir satu abad ini, pantaslah kalau NU berperan lebih besar lagi di arena politik.

 

Kerajaan “Halu”

 

Halusinasi adalah suatu keadaan seseorang melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang tidak nyata. Halusinasi berbeda dengan imajinasi. Imajinasi adalah sesuatu yang bisa diukur berdasarkan pengalaman dan ukuran tertentu, sedangkan halusinasi tidak. Meminjam istilah kaum milineal disebut halu, adalah salah satu penyakit sosial yang oleh psikoanalisis-humanis Erich Fromm dianggap sebagai cerminan masyarakat yang sakit.

 

Menurut Fromm, gaya hidup halu ini terjadi karena sebagian masyarakat mulai merasakan terkucilkan atau dikucilkan dalam pergaulannya. Entah karena keterbatasan ruang ekspresi atau disebabkan lemahnya kemampuan menuangkan ide-ide kreatif. Atau terjadi lantaran ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan mengubah hidupnya. Ini menyebabkan orang kemudian melarikan diri dari dunia nyata. Munculnya sejumlah orang yang mendaulat dirinya sebagai raja atau sultan dari kerajaan baru dengan iming-iming mampu mengatasi kemiskinan bangsa Indonesia bahkan dunia akhir-akhir ini, sudah diprediksi Erich Fromm akan terjadi.

 

Lalu bagaimana NU mempoisikan dirinya dalam hal ini? Di era digital dewasa ini, NU harus menjadi semakin modern. NU jangan lagi bermain hanya dari mimbar ke mimbar, dari mesjid ke mesjid, atau dari pesantren ke pesantren. Mimbar, masjid dan pesantren NU harus semakin update dan meng-upgrade dirinya dengan masuk di ruang-ruang digital (media sosial dan online) yang disediakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, di media seperti inilah gagasan halu dan ide yang tak bisa dicerna akal sehat bergentayangan bagai virus yang mematikan.

 

Mengutip Ust Nurbani Yusuf (Times.Id, 2/2/20), untuk menjadi modern, NU memang tak harus mengubah pesantren menjadi universitas atau menanggalkan sarung dan kopiah dengan celana atau penthalon. Apalagi mengubah tradisi kitab kuning dengan buku putih. NU telah menjadi sangat modern, meski dibanding dengan organisasi yang menyebut dirinya paling modern sekalipun. Sebab NU adalah kemodernan itu sendiri. Mengutip ciri kemodernan yang disebut Mc Leland: culture expansion, social mobilization dan growth economic oriented, maka NU punya semua itu tanpa kata kecuali. Pesantren dan masjid yang dikelola santri NU begitu memukau karena menjadi basis modernitas: pusat ekonomi, agen perubahan dan mobilisasi massa tanpa harus melepas identitas kulturalnya. Selamat Harlah NU ke-94. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq.

 

*Penulis Intelektual Muda NU, Dosen Komunikasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.

Baca Artikel Lainnya

Tinggalkan komentar