Banjarmasin, BARITO – Pemerintah kembali mengubah kebijakan syarat perjalanan di masa pandemi Covid-19 yang masih belum hilang. Para calon penumpang pesawat tidak lagi diwajibkan melakukan tes polymerase chain reaction (PCR). Cukup tes antigen. Sementara, masyarakat yang ingin bepergian jarak jauh dengan kendaraan pribadi diminta melakukan rapid test PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam atau rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam 1×24 jam.
Kebijakan syarat perjalanan yang berubah cepat ini tak urung menimbulkan kebingungan warga. Setidaknya, itu dirasakan Retno Murti, warga Jalan Veteran Banjarmasin. Dia merencanakan perjalanan keluarga dengan mobil ke Balikpapan, Kalimantan Timur, yang berjarak sekitar 339 km dari Banjarmasin.
‘’Saya, suami dan anak-anak semua sudah divaksin dua kali. Kami di mobil pribadi satu keluarga, tak ada penumpang lain. Jadi tak ada risiko tertular atau menularkan. Lalu, untuk apa dites PCR dan antigen segala,’’ ujar ibu rumah tangga itu, Selasa (2/11).
Lagipula, sambung Murti, perkembangan kasus Covid-19 sudah sangat melandai. ‘’Di Banjarmasin sudah PPKM level 2. Vaksinasi sudah hampir merata. Di seluruh rumah sakit hampir tak ada lagi pasien Covid. Tak lagi terdengar orang meninggal dunia karena Covid. Di Balikpapan, PPKM-nya juga sudah level 2,’’ katanya.
Dia menyadari pandemi belum betul-betul hilang dan masih mungkin angka penularan melonjak lagi. ‘’Karena itu, kami pun masih disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Ke mana-mana pakai masker, bawa hand sanitizer, tidak mendatangi kerumunan,’’ ujarnya.
Kebingungan atas kebijakan pemerintah yang cepat berubah ini juga dirasakan Budi, warga Jalan Sutoyo S Banjarmasin. Pengusaha swasta yang sering bepergian dengan pesawat ini mengaku kesal dengan berubah-ubahnya tarif PCR.
‘’Saya sudah mengalami bayar PCR dari yang jutaan hingga ratusan ribu sekarang. Kesal sih, merasa dipermainkan, kasarnya merasa ditipu,’’ ucap Budi.
‘’Ternyata PCR bisa murah, kenapa dulu mahal sekali,’’ sambung pengusaha kafe ini.
Budi bercerita, pernah suatu kali dirinya mendadak harus ke Jakarta karena suatu urusan. ‘’Saat itu peraturannya PCR harus satu kali 24 jam. Kebetulan, beberapa hari sebelumnya, presiden mengumumkan tarif PCR diturunkan berkisar Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. Ternyata pihak rumah sakit swasta tempat saya ber-PCR memasang tarif Rp800 ribu, dengan alasan hasil tesnya ekspres, satu kali 24 jam. Karena waktu mepet, mau segera berangkat, terpaksa saya bayar Rp800 ribu,’’ tuturnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah melonggarkan syarat perjalanan dengan menggunakan pesawat. Para calon penumpang tidak lagi diwajibkan melakukan tes PCR. Cukup tes antigen.
Pelonggaran disampaikan oleh Menko PMK Muhadjir Effendy dalam Konferensi Pers Evaluasi PPKM, Senin (1/11),
“Perjalanan akan ada perubahan, yaitu wilayah Jawa-Bali, perjalanan udara tidak lagi harus pakai tes PCR, tapi cukup tes antigen. Sama dengan yang diberlakukan di wilayah luar Jawa non-Bali,” katanya.
Dia menyebut, saat ini Provinsi Bali menjadi perhatian khusus pemerintah karena dalam waktu dekat akan menyelenggarakan sejumlah acara berskala internasional dengan mengundang berbagai pimpinan negara sahabat.
Sebelumnya, pemerintah sempat mengubah syarat perjalanan udara di Jawa dan Bali, dari cukup tes antigen menjadi tes PCR.
Aturan tersebut mendapat penolakan berbagai pihak hingga Presiden Joko Widodo menginstruksikan penurunan harga PCR menjadi Rp300 ribu wilayah luar Jawa-Bali dan Rp275 ribu untuk wilayah Jawa-Bali.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merilis Surat Edaran No. 90 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Surat Edaran Menteri Perhubungan No. SE 86 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi darat pada Masa Pandemi Covid-19.
Dalam SE 90 Tahun 2021 itu dijelaskan secara rinci syarat perjalanan menggunakan kendaraan pribadi, seperti mobil atau motor, dan juga kendaraan bermotor umum.
Peraturan itu memberikan syarat perjalanan jarak jauh, yakni perjalanan dengan jarak minimal 250 km atau minimal waktu perjalanan 4 jam.
Pelaku perjalanan jarak jauh dengan transportasi darat yang menggunakan kendaraan bermotor perseorangan, sepeda motor, dan kendaraan bermotor umum wajib menunjukkan kartu vaksin minimal vaksin dosis pertama dan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam 1×24 jam.
Selanjutnya, pelaku perjalanan Angkutan Penyeberangan juga wajib menunjukkan kartu vaksin minimal vaksin dosis pertama.
Selain kartu vaksin, pelaku perjalanan angkutan penyeberangan wajib menyertakan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam, atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam 1×24 jam atau on site sebelum keberangkatan.
Pelaku perjalanan jarak jauh yang menggunakan moda transportasi darat dan angkutan penyeberangan dari dan ke daerah di luar wilayah Pulau Jawa dan Pulau Bali pun wajib menunjukkan kartu vaksin minimal vaksin dosis pertama. Syarat lain yaitu surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam, atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam 1×24 jam.
Persyaratan perjalanan ini mulai berlaku sejak 27 Oktober 2021. Syarat perjalanan dengan menunjukkan kartu vaksin dan hasil tes negatif Covid-19 dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan terakhir di lapangan.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kebijakan syarat perjalanan tersebut semakin memperlihatkan kegiatan bisnis di baliknya. Dia mengatakan, jika syarat tersebut diterapkan maka masyarakat akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk tes Covid-19 ketimbang ongkos transportasi.
“Wacana kebijakan wajib tes (PCR dan antigen) bagi pengguna ranmor (kendaraan bermotor) hanya bagus di atas kertas saja. Tapi pada tataran implementasi kebijakan tersebut menggelikan dan mengada-ada, nuansa bisnisnya makin kentara,” kata Tulus dalam keterangan tertulisnya sebagaimana dikutip dari detikcom, Senin (1/11).
Dia juga menilai, kebijakan ini absurd karena pengawasan di lapangan akan berpotensi pada kerumunan masa dan lalu lintas akan terganggu.
“Pengawasan di lapangan juga sangat susah, berpotensi membuat ‘chaos lalu lintas’, khususnya untuk pengguna ranmor pribadi. Akibatnya malah menimbulkan kerumunan,” ujarnya.
Dia mengoreksi kebijakan pemerintah yang cenderung berbeda-beda setelah syarat PCR dihapus dalam perjalanan pesawat terbang.
Tulus pun menyoroti terkait masih ditemukannya tarif PCR di atas batas yang telah diminta Presiden Joko Widodo, yaitu Rp 275 ribu.
“Jadi pemerintah tidak boleh main patgulipat dong, setelah wajib PCR bagi pesawat diprotes kanan kiri dan kemudian direduksi menjadi wajib antigen, sekarang antigen mau mewajibkan untuk ranmor pribadi. Ini namanya absurd policy,” ujarnya.
“Pemerintah seharusnya menertibkan tarif PCR yang masih tinggi. Menurut laporan konsumen, sebuah lab di Solo menerapkan tarif Rp 600 ribu untuk hasil 1×24 jam atau pihak lab menggunakan jurus ‘same day’ atau istilah ‘PCR express’ agar tarifnya lebih mahal. Saya barusan tes PCR dengan kategori same day tarifnya Rp 650.000,” kata dia.
Senada, Pengamat Transportasi Darmaningtyas menilai kebijakan tes PCR bagi pelaku perjalanan darat dengan kendaraan pribadi itu suatu kemunduran dan bernuansa bisnis. Sebab kebijakan itu diambil justru ketika kasus Covid-19 di Indonesia sudah cukup rendah.
“Kebijakan ini sebetulnya suatu kemunduran dan lebih bernuansa bisnis. Mengapa? Karena Covid-nya kan sudah turun drastis, bahkan DKI Jakarta saja sudah masuk kategori zona hijau,” ucapnya yang dikutip detikcom, Senin (1/11).
Tak hanya itu, jumlah masyarakat yang sudah divaksinasi juga cukup besar. Bahkan di Jakarta sudah mencapai 90%.
“Mengapa pada saat kondisi masyarakat sudah membaik kok malah diterapkan kebijakan tersebut? Ini dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan karena berbisnis berlindung di balik pandemi,” ucapnya.
“Logikanya, kalau kita percaya pada keampuhan vaksinasi, maka ketika mayoritas warga sudah divaksin dua kali, tidak perlu lagi tes-tes segala untuk melakukan perjalanan, yang penting prokesnya dijaga ketat,” tambah Darmaningtys.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno menilai kebijakan pengawasan itu akan dilaksanakan oleh polisi dan kemungkinan dilakukan tes secara acak.
Sebab jika dilakukan dengan membuat pos pencegatan akan menimbulkan kemacetan.
“Jika dibuatkan pos pencegatan, dan diperiksa satu per satu, pasti antrean kendaraan panjang. Oleh sebab itu ketimbang antrean panjang, bisa jadi dapat dilakukan secara acak,” ujarnya.
Peneliti INDEF Abra Talatov mengatakan, kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait syarat perjalanan warga di masa pandemi ini tidak matang dan tidak hati-hati. Sehingga mudah sekali berubah akibat desakan publik.
“Sebetulnya dari awal, ketika kasus Covid-19 menurun level di beberapa kota yang kuning dan hijau, harusnya menjadi parameter masyarakat untuk mobilitas dan pemulihan sektor ekonomi dan penerbangan,” ujar, Senin (1/11).
Abra mengungkapkan, di negara lain bahkan untuk penerbangan domestik tak perlu lagi tes PCR sebagai syarat. Seharusnya Indonesia bisa mengikuti tren di dunia.
“Jadi kalau ada kebijakan jangan maju mundur dan sering berubah-ubah dengan cepat, pasti akan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Akibat kebijakan yang sering berubah-ubah ini, imbuh Abra, banyak masyarakat yang merasa dirugikan. Apalagi sebelumnya pemerintah mengizinkan tes antigen sebagai syarat, lalu berubah PCR, lalu berubah lagi ke antigen. Perubahannya sangat drastis meski ada transisi tetap saja membuat bingung.
Menurut dia, masyarakat sebenarnya membutuhkan informasi yang akurat dan tepat untuk meningkatkan kepercayaan mereka terhadap pemerintah. “Pemerintah juga harus kredibel dalam menjelaskan informasi harus jelas dan gambling. Jadi memang harus matang dan terbuka soal PCR ini,” jelas dia.det/afd
Penulis: Afdian R
Editor: Dadang Yulistya