Masyarakat adalah sebuah potret kehidupan yang sarat dengan persoalan sengketa, perselisihan, pertengkaran, perseteruan, atau aneka ragam konflik antar individu, kelompok, keluarga, etnis, bahkan antar bangsa yang mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk tindak pidana termasuk tindak pidana penganiayaan baik ringan maupun berat.
Ada istilah Restorative Justice atau dalam artian lain Keadilan restoratif yakni sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.
Polri untuk benar-benar mengawal penegakan hukum yang berkeadilan. Tidak ingin masyarakat terus-menerus merasa bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan. Soal pentingnya mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Mengutip dari I Made Tambir (2019) dalam penelitian berjudul “Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan”, restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Kendati begitu, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tersurat mengatur pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan.
Restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Surat telegram itu terbit pada 22 Februari 2021. Kapolri menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Ia pun meminta penyidik Polri tidak melakukan penahanan.
Sementara itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.
Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan ahwa dalam pelaksanaan diversi harus adanya pendekatan restorative justice. Begitu juga dalam penyelesaian perkara tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian. Tindak pidana persetubuhan dipengaruhi oleh bebebrapa faktor dan dari faktor yang ada maka timbulah urgensi penerapan prinsip restorative justice dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan dan upaya penyidik menerapkan prinsip restorative justice dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan.
Konsep Restorative Justice sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Restorative Justice dimaknai sebagai suatu proses dimana semua pihak yang terkait dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi terhadap pihak korban dan pelaku hukum, tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.
Apabila proses hukum berlanjut kepada proses pelaporan ke Kepolisian maka dasarnya pelaksanaan hukum melalui upaya diversi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan menggunakan otoritas diskresi. Diskresi adalah adalah pengalihan dari proses pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini berdasarkan perubahan Undang-undang No.11 Tahun 2011 pengganti Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak hanya melindungi anak sebagai korban dan tidak bagi pelaku, sebagai pelaku dikategorikan anak masih dibawah umur, posisinya tidak di samakan dengan pelaku orang dewasa.
Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MAhkamah Agung RI nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2021 tentang pemberlakukan pedoman penerapan keadilan restorative (Restorative Justice) Direjen Badan Peradilan Umum. Didalamya tersirat Mou ketua Mahkamah Agung RI, Menkum HAM, Kejaksaan Agung RI, Kepala Kepolisan RI, nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 tahun 2012, nomor KEP/06/E/EJP/10/2012, nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang pelaksanaan penerapan penyesuain batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat serta penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.
Pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Gagasan Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat.
Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer dilingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan dilingkungan hukum pidana. Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia adalah Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat Kepolisian tersebut antara lain mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui ADR.
Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sacara profesional dan proporsional; penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar; penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan dan untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
Polri dalam melaksanakan tugas dibidang penegakan hukum pidana pada dasarnya berdiri
diantara dua kepentingan yaitu kepentingan yang selaras dengan tujuan sosial dan memenuhi tujuan hukum yakni terciptanya kepastian hukum. Hukum dalam konteks ketertiban masyarakat mensyaratkan bahwa hukum tidak hanya sebagai sarana untuk mencapai kepastian namun harus memperhatikan ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan antara kepastian hukum dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat yang dilaksanakan oleh Polri memungkinkan terjadinya konflik khususnya dalam kasus-kasus yang kontroversial.
Polri mengambil langkah-langkah untuk tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum karena pada pelaksanaannya justru akan menimbulkan ketidak tertiban dalam masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Polri adalah penerapan prinsip-prinsip restorative justice.
Kompol Yusriandi Y, SIK, M.MedKom selaku Serdik Sespimmen Polri Dikreg ke 66 mengungkapkan, ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mensyaratkan adanya konsep penyelesaian suatu tindak pidana dengan mengenyampingkan proses pidana demi kepentingan Harkamtibmas dan kepentingan umum melalui konsep restorative justice. Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia itu, maka konsep restorative justice juga dikenal di dalam undang-undang lainnya antara lain undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak yang merumuskan bahwa keadilan restorative merupakan suatu proses diversi yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
“Sebagai contoh, penyanyi dangdut Dewi Murya Agung alias Dewi Persik, terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana penganiayaan ringan terhadap Julia Perez sebagaimana yang didakwakan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Pada intinya putusan pengadilan menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dewi Persik selama 3 (tiga) bulan dan memerintahkan agar terdakwa ditahan. Ternyata lawan main Dewi Persik, Julia Perez pun dihukum dengan hukuman yang sama yaitu dihukum penjara selama 3 (tiga) bulan penjara. Dari uraian di atas, sangatlah tepat apabila konsep pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana segera diterapkan di Indonesia sebagai upaya pembaharuan hukum. Hal ini dikarenakan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku tindak pidana dengan korban. Mekanisme dan tata acara peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang baik bagi pihak korban maupun pelaku. Restorative justice memiliki makna keadilan yang merestorasi. Di dalam peradilan pidana saat ini dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Dalam penelitian ini mencoba menunjukkan bahwa tindak pidana penganiayaan yang saling melaporkan sama-sama merugikan pihak-pihak yang berperkara,”kata Kompol Yusriandi Y.
Surat Edaran Kapolri nomor SE/8/VII/2018 tentang penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana tertanggal 20 Juli 2018 sudah sangat jelas mengatur keadilan restoratif. (*)