Oleh Hartiningsih
Perkawinan Usia Anak Di Indonesia
Pernikahan dini masih marak terjadi dibeberapa negara berkembang, Indonesia misalnya merupakan salah satu negara menduduki angka perkawinan usia anak tertinggi yakni peringkat ke 8 dunia dan ke dua peringkat di ASEAN setelah Laos. Tingginya angka pernikahan anak tersebut menjadi salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah saat ini. Bagaimana tidak dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 20 provinsi yang hingga tahun 2019 angka perkawinan usia anak berada di atas rata-rata nasional dengan kata lain, berpotensi sebagai penyumbang tertinggi angka perkawinan usia anak. Ke 20 provinsi tersebut antara lain : Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Bangka Belitung, Jambi Bengkulu dan Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Maluku Utara. (BPS,2019).
Pada tahun 2020 disebagian provinsi mengalami penurunan dan yang masih tergolong dalam 10 besar tertinggi dengan usia perempuan antara 7-15 tahun adalah Provinsi Kalimantan Selatan 12,52 persen, Jawa Barat 11,48 persen, Jawa Timur, 10,85 persen, Sulewesi Barat 10,05 persen, Kalimantan Tengah 9,85 persen, Banteng 9,11 persen, Bengkulu 8.81 persen, Jawa Tengah 8,71 persen dan Jambi 8,56 persen, dan Sulawesi Selatan 8,48 persen. Sumber data yang sama juga menyebutkan berdasarkan survey Susenas Kor 2020, terdapat 8,19 persen Indonesia yang menikah pertama kalinya di usia antara 7-15 tahun.
Kalsel Ranking Pertama Perkawinan Usia Anak
Menyoal sejumlah provinsi dengan angka perkawinan usia anak berada di atas rata-rata-rata nasional, Provinsi Kalimantan Selatan berkali-kali menempati peringkat 1 sejak tahun 2015 dengan angka 23,19 persen sementara nasional 12,14 persen. Demikian pula tahun 2016 kembali berada pada peringkat 1 dengan 22,26 persen, nasional 11,11 persen. Di tahun 2017 masih tetap peringkat 1 dengan angka 23, 12 persen, nasional 11,54 persen. Tahun 2018 sedikit bergeser ke peringkat 4 berada pada angka 17,63 persen, nasional 11,21 persen. Namun pada tahun 2019 kembali naik keperingkat 1 mencapai 21,18 persen, nasional 10,82 persen. (DPPPA Prov Kalsel 2021)
Realitas angka di atas disadari atau pun tidak, jelas berdampak negative pada sector pembangunan lainnya seperti sector kesehatan, pembangunan sumber daya manusia, termasuk capaian pembangunan lainnya, salah satu dampak yang terukur secara nyata diantaranya adalah capaian IPP (Indeks Pembanguan Pemuda) yang mana salah satu domainnya adalah gender dan diskriminasi yang di dalamnya bersentuhan dengan perkawinan usia anak.
IPP (Indeks Pembangunan Pemuda) kita Di Kalimantan Selatan hampir selalu berada pada posisi terbawah. Pada tahun 2019 misalnya capaian IPP Provinsi Kalimantan Selatan menduduki peringkat 34 dari 34 provinsi di Indonesia (Siti Adawiyah, Kabid Bidang Pemberdayaan Pemuda Dispora Kalsel,https//diskominfomic kalsel.prov.go.id). Satu diantara penyebab lainnya yang masih sulit untuk meningkatkan nilai IPP tersebut adalah menekan angka pernikahan usia anak.
Kabupaten Kota Terbanyak Perkawinan Usia Anak
Konteksnya dengan Kalsel yang masih menempati posisi tertinggi dalam hal perkawinan usia anak, terdapat 6 (enam) kabupaten-kota di Kalimantan Selatan dengan angka perkawinan usia anak masih tinggi yakni : Kota Banjarmasin dengan peningkatan angka perkawinan anak tertinggi terjadi di tahun 2019 berjumlah 69 kasus, disusul Kabupaten Tanah Laut 44 kasus dan Kabupaten Banjar 29 kasus.
Beragam upaya yang dilakukan oleh kabupaten kota guna menekan angka perkawinan usia anak sebagaimana hasil penelitan Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan 2021, dimana DPPPA bekerjasama dengan tokoh agama/ tokoh infomal, organisasi yang ada di masyarakat, seperti PKK, perkumpulan pemuda dan kelompok kerukunan lainnya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat/para orang tua untuk tidak melakukan atau menunda menikahkan anaknya di usia muda, karena risiko perkawinan dini sangat besar. Baik untuk kesehatan reprodusksi, maupun kelansungan berumah tangga bagi pasangan muda. Selain sosialisasi, DPPPA juga memberikan rekomendasi ke Kemenag dikabulkan atau ditundanya waktu pernikahan bagi anak yang mau menikah. Sosialisasi yang lebih gencar tentang perubahan undang-undang perkawinan dati Undang-undang nomoe 1 tahun 1974 menjadi Undang-undang nomor 16 tahun 2019, yang kalau sebelumnya dinyatakan usia wanita diperbolehkan menikah diusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun, di dalam undang-undang perubahan mengatur kalau usia perkawinan usia anak baik wanita maupun laki-laki ber usia 19 tahun.
Perkawinan Usia Anak Berbasis Budaya
Seperti diketahui, beberapa hasil penelitian menyebutkan banyak factor yang menjadi penyebab tingginya angka perkawinan usia anak seperti factor budaya, agama, ekonomi, pendidikan dan perkembangan terakkhir pengaruh media sosial dan pergaulan modern. Konteks faktor budaya sejumlah pejabat Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perlindungan Anak (DP3A) kabupaten kota di Kalimantan Selatan, mengungkapkan tradisi atau budaya mengawinkan anak perempuan ketika anak sudah beranjak dewasa sudah terjadi sedikit pergeserran, artinya tidak melulu karena pengaruh budaya, Pengaruh budaya memang masih ada terutama di kampung-kampung (desa). Budaya tersebut seakan terpelihara hingga sekarang dan fenomena itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain : pola pikir masyarakat yang takut anaknya dianggap tidak laku dan menjadi perawan tua, takut terjadi hal-hal yang memalukan seperti melanggar hukum agama (perzinahan/hamil diluar nikah). Jika terjadi hal seperti itu, maka menjadi aib keluarga, fenomena lain, khawatir akan menjadi bahan cemoohan dan dibanding-bandingkan dengan teman sebayanya yang sudah lebih dahulu menikah, khawatir menjadi bahan canda tanya sekaligus sindiran “sudah punya berapa cucu”. Kekhawatiran lain dari sejumlah orang tua, anak gadis yang lambat menikah menjadinya rendah diri, labil frustrasi, dan lain sebagainya.
Pola pikir yang dibayangi oleh perasaan takut/khawatir seperti itu, disadari ataupun tidak menjadikan salah satu potensi mengakarnya budaya mengawinkan anak di usia dini. Di sisi lain, kalau ditelaah secara logika sederhana tradisi ini akan bertahan bahkan potensial berkembang karena adanya factor lain yang satu sama lain saling mempengaruhi, sebut saja seperti faktor lingkungan yang cukup besar pengaruhnya terhadap kelanggengan budaya atau sebaliknya, kuatnya suatu budaya karena kuatnya tradisi yang terdapat dalam lingkungan sebagai stimuli.
Faktor imitasi, imitasi merupakan tindakan meniru atau mengikuti individu lain yang dalam hal ini budaya tiru- menirukan orang lain menikah diusia muda. Aspek peniruan terjadi melalui proses pengokondisian yang berkaitan dengan realitas yang sering dan banyak dilihat maupun didengar, maupun diamati. Artinya, ketika di sikitar lingkungan, sebagai besar anak-anak menikah di usia muda, maka kecenderungan teman-teman lainnya menirukan hal yang sama cukup besar pula. Yang dimaksudkan disini pernikahan usia anak atau pernikahan usia dini yang berbasis budaya tidak terlepas dari peran lingkungan dan motivasi imitasi di samping pengaruh lainnya.
Sebaliknya pernikahan usia anak berbasis budaya akan berangsur tergerus manakala masyarakat lingkungan dibekali dengan pengetahuan dan infomasi yang banyak tentang dampak memikah dini, missal dampak pernikahan dini dalam tinjauan hukum, agama, kesehatan, ekonomi, dinamika kehidupaan dalam berkeluarga dan lain sebagainya. Sosialisasi sebagai sarana informasi dan pengetahuan harus dilakukan secara intens. Di sisi lain, pemerintah sudah sepatutnya serius menyikapi budaya pernikan dini dengan membentuk kerjasama dalam sebuah komitmen keberbagai pihak antara lain, lembaga pendidikan dasar dan menengah, tokoh agama dan masyarakat, organisasi pemuda serta organisasi masyarakat lainnya yang terbentuk di masyarakat.
(Penulis, Peneliti Balitbangda Prov Kalsel)