Oleh : M. Syarbani Haira *)
AHAD malam 2 Januari 2022 lalu, Abdalla Hamdok, Perdana Menteri Sudan, mengundurkan diri. “Saya putuskan untuk mengembalikan amanat dan mendeklarasikan pengunduran diri saya sebagai perdana menteri,” tegas Hamdok dalam sebuah pidato yang disiarkan melalui layar televisi.
Pengunduran diri Hamdok ini dilakukan di tengah Sudan menghadapi kebuntuan politik dalam negeri, menyusul kudeta militer yang berdampak gagalnya transisi demokrasi dan pemerintahan sipil. Abdalla Hamdok merupakan salah satu elite PBB yang dipercaya buat menyelesaikan kemelut politik dalam negeri Sudan. Ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sudan bulan Nopember 2021 lalu, setelah sebelumnya pimpinan militer Sudan Jenderal Abdel Fatah Burhan menandatangani kesepakatan 25 Oktober 2021 lalu, yang berisi pembagian kekuasaan antara sipil dengan militer.
Kesepakatan itu menindak-lanjuti kudeta militer dua tahun sebelumnya (2019), yang berdampak penguasa Sudan kala itu, Omar al-Bashir, dicampakkan dari kekuasaannya. Tetapi pengambil alihan kekuasaan itu ditolak rakyat Sudan, di mana ribuan orang turun ke jalan-jalan di Khartoum dan kota-kota lain di seluruh negeri, untuk mengecam pengambil-alihan kekuasaan oleh militer, meski pihak militer menjanjikan Pemilihan Umum Sudan tahun 2023 mendatang.
Sebagai mantan pejabat penting PBB, Hamdok faham apa kemauan rakyat Sudan. Maka itu ia mencoba menampung, dan sekaligus menyambung aspirasi rakyat. Tetapi militer punya pendapat berbeda, mereka punya cara sendiri dalam mengatasi unjuk rasa rakyat Sudan. Puncaknya terjadilah pengunduran diri tersebut, sembari memberikan kesempatan kepada rakyat banyak, untuk menyelesaikan konflik dan pertikaian politik.
Perspektive atau Sudut Pandang
Kejadian di Sudan hanya satu dari kasus perspektif atau sudut pandang manusia mengenai sebuah persoalan. Mereka dihadapkan persoalan politik, wabil-khusus polarisasi antara militer dan sipil (civil society). Di negeri ini kaum civil society pernah berjuang lama, bahkan berdarah-darah, terkait empowering civil society ini. Sejumlah tokoh masyarakat, ilmuan, ulama, dan mahasiswa banyak yang menjadi korban, dilindas kekuatan militer yang tak suka demokrasi dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Tetapi konsep demokrasi dalam perspektif militer dan sipil ini dalam banyak kasus memang susah dipadukan. Militer punya perspektif sendiri, begitu pula dengan pejuang civil society. Jika penduduk bumi hari ini sudah di atas 7 miliar, tentu akan banyak perspektif yang muncul dan berkembang, jika mereka diminta membahas soal sebuah topik, misalnya soal demokrasi. Maka sudut pandangnya bisa menimbulkan wajah yang tak sedikit.
Demikian pula untuk soal lainnya, entah soal cowok ideal, atau gadis yang cantik. Atau jika diminta soal binatang. Beragam konsep kerapkali muncul perbedaan. Taruhlah cerita era Sekolah Dasar, tentang tiga orang buta membahas gajah. Ternyata perspektifnya beda-beda. Pertama menyebut gajah itu seperti kipas besar, karena memegang telinganya. Kedua menyatakan jika gajah itu bak pohon besar, karena yang dipegangnya kaki. Ketiga menyimpulkan gajah bak kayu besi, karena yang dipegangnya adalah belalai.
Dalam kamus Bahasa Indonesia modern, arti perspektif adalah sudut pandang manusia dalam memilih opini, dari kepercayaan mengenai sesuatu hal. Perspektif ini kadang juga disebut sebagai sebuah sudut pandang.
Begitulah perspektif manusia, ia bisa selalu berbeda-beda. Perspektif bisa muncul karena latar belakang, asal-usul, pengalaman, dan harapan. Ada pula wawasan dipandang karena factor politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Sehingga apa pun yang ada dan terjadi di permukaan bumi ini, interpretasi manusia akan selalu berbeda-beda sudut pandangnya. Tak hanya itu saja, terkadang muncul pro kontra. Tentu banyak factor yang membuat manusia bisa berbeda-beda dalam memandang sesuatu persoalan.
Perspektif tentang NU
Ternyata jam’iyah diniyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi para ulama pun dipandang dengan beragam sudut pandang. Pernah terjadi sebagian (dulu) kalangan muslim Indonesia (bahkan hingga hari ini semakin nyaring terdengar), NU ini adalah sarangnya TBC (tahayul, bidengah dan churafat). Mereka memvonis jika warga NU itu pelaku bidengah, yang tak sesuai dengan hadist. Ini karena ada hadist berbunyi, bidengah itu dholalah (sesat), dan yang sesat itu fi an-naar (masuk neraka). Kejam sekali vonis mereka ini.
Tetapi di sisi lain, sejumlah lembaga survei baru-baru ini telah mempublis jika lebih 50 % umat Islam Indonesia mengaku bagian dari NU. Itu artinya, lebih dari 125 juta muslim Indonesia merasa heppy menjadi bagian dari warga NU. Apa jadinya jika lebih separo umat Islam di negeri ini masuk neraka, seperti kerapkali mereka ceramahkan setiap mengawali ceramah-ceramah mereka.
Sudut pandang lainnya bisa kita baca dari respon ilmuan, aktivis dan para pimpinan di sejumlah negara. Seringnya tokoh NU diundang di acara internasional, termasuk dari PBB, itu menandakan respon yang positive tentang NU. Presiden AS pun mengundang tokoh NU, untuk membahas soal perdamaian. Perdana Menteri Israel pun mengundang tokoh NU, untuk membahas konsep perdamaian. Ulama Afghanistan dan ulama Lebanon pun akhirnya resmi mendirikan NU versi mereka, karena menganggap value NU nusantara tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangat relevan bagi mereka.
Tidak hanya itu, menyikapi terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU hasil Muktamar ke-34 di Lampung, 22 – 23 Desember 2021 lalu, pun responnya berbeda-beda. Sebagian ada yang optimistis, dan pessimistis. Menurut mereka Gus Yahya akan membawa NU ke era kejayaan, karena pemikiran-pemikiran Gus Yahya yang genuiene dan brilliant. Sebaliknya ada pula yang kecewa, karena menurut mereka visi Gus Yahya jauh dari perspektif yang mereka harapkan.
Tak hanya itu, kelompok-kelompok yang sinis pun tak kurang galaknya. Mereka menyebut NU akan dipecundangi, karena pimpinannya pro Israel. Sementara hajat Gus Yahya untuk “Menghidupkan Gus Dur” pun dituding sebagai konsep yang juga tak jelas arahnya. Justru NU akan semakin termarginalkan, karena tekad agar NU ditarik diri dari institusi politik praktis.
Tetapi itulah sudut pandang. Ia selalu tampil dalam banyak wajah. Akan selalu berbeda-beda. Faktor pengalaman dan latar belakang, pasti akan sangat mempengaruhi sebuah sudut pandang. Maka itu bisa muncul pro dan kontra. Mereka yang dari awal tak suka, tentu selamanya akan kontra, seperti apa pun logikanya. Sebaliknya mereka yang dari awal pendukung, hampir pasti akan selalu berada di garis pro. Ini hukum alam, yang akan selalu mengikuti dialektika berpikir filsafat. Dimulai dari tesis, anti tesis, dan synthesis.
Sayangnya dialektika yang terakhir itu masih jalan di tempat. Tak ada kemajuan. Pergulatan hanya antara yang tesis dengan anti tesis, antara yang pro dengan kontra. Repotnya ini melanda orang-orang terdidik, yang formalnya sudah S2, bahkan S3. Itu artinya ijazahnya hanya didapat buat belajar, bukan buat berpikir. Dalam dialektika berpikir, pasti akan ada synthesis, pemikiran baru yang mencoba merangkum sudut pandang yang berkembang secara optimistic. Logika berpikir akan mengantarkan pada sebuah titik, di mana ide besar sebagai epicentrum berpikir. Jika sudut pandang masih parsial, tentu saja susah mendapatkan sebuah epicentrum tujuan utama.
Ini membuktikan jika temuan UNDP (United Nations Development Programmee), sebuah lembaga kajian milik PBB yang menempatkan Indonesia, negara terbesar ke-4 di dunia ini, dalam peringkat yang ke-111 dari sekitar 180-an negara yang dipublish di seluruh dunia. Dengan peringkat tersebut tak aneh jika wajah perspektif penduduk negeri ini beragam sudut pandang. Menuju terselenggaranya vaksinasi saja masih memerlukan keterlibatan aparat negara, bukan atas dasar hasil berpikir positive hingga muncul kesadaran sendiri sebagai warga negara.
Konflik Sudan, dan beda pandang soal NU, ini hanya sedikit dari sekian amsal yang ada. Apa yang bisa kita simpulkan untuk mengkaji semua persoalan bangsa di negeri lainnya. Misal konflik Israel Palestina, AS dengan China, China dengan Taiwan, Arab Saudi dengan Iran, Arab Saudi dengan Yaman, atau kasus internal Rusia, internal Papua, Filipina Selatan, Yangon – Myanmar, dan sebagainya. Tampilan banyak wajah inilah duduk masalahnya, hamper pasti aka nada pro kontra. Maka itu saatnya kita sebagai anak bangsa bisa belajar dari konflik yang pernah meruntuhkan peradaban dunia. Wallahu’alam bis-sawab … !!!
*) Ketua Dewan Syuro Mesjid As-Su’ada, Syekh Abdul Kadir Hasan, Universitas NU Kalsel