Banjarmasin, BARITO – Rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam upaya pemberantasan terorisme menuai pro dan kontra. Seperti diketahui, pemerintah telah merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Sabtu (14/11/2020), webinar nasional bertajuk Pro Kontra Pelibatan TNI Dalam Pemberantasan Terorisme dibuka langsung via zoom meeting oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin Prof Dr H Mujiburrahman MA.
Kegiatan yang dimotori Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin dan Academics TV via webinar nasional menghadirkan pemateri, Dardiri MA Sosiolog UINSUSKA Riau. Kemudian, Prof Dr H Ahmadi Hasan MH, Pakar Hukum UIN Antasari Banjarmasin. Lalu H. Jalaluddin MHum Ph.D Pakar Hukum Politik UIN Antasari Banjarmasin. Dan M Choirul Anam SH Anggota KomNas HAM RI, dengan moderator Mufti Makaarim.
Dalam sambutannya, Prof Dr H Mujiburrahman MA mengucapkan terima kasih atas kehormatan dan diberikannya kepercayaan kepada UIN Antasari dalam kegiatan webinar nasional bertema Pro Kontra Pelibatan TNI Dalam Pemberantasan Terorisme.
Menurutnya, terorisme menjadi isu hangat di Indonesia dan dunia, sebab itu bisa saja ada pihak yang mengaitkan terorisme dan radikal dengan agama, atau bisa juga ada pihak yang tidak mengaitkan terorisme dengan agama.
Guru besar berkacamata ini menilai, hadirnya terorisme biasanya adanya keinginan sesuatu yang tidak tercapai dalam ideologi antara kesejahteraan dan pikiran. “Ini bentuk ketidakpuasan sehingga muncul terorisme. Jika mereka puas maka tidak ada gerakan terorisme dan aksi radikal. Mungkin ada pergeseran antara muslim moderat dan radikal,” tandasnya.
Untuk itu, Ia berharap, ada penanganan atau penindakan, sehingga tidak ada aksi yang berdampak fatal. “Ya, dalam diskusi ini harus ada keseimbangan antara pandangan dengan perilaku sosial budaya dan ekonomi,” tuturnya.
Kita perlu menyadari apa yang terjadi dengan kenyataan bahwa di Indonesia ada demokrasi.
Anggota Komnas HAM M Choirul Anam mengatakan terorisme adalah ancaman kita semua namun dapat dilakukan dengan pendekatan lebih komplek. “Secara sosial harus dipulihkan dan Komnas HAM melihat pelibatan TNI dalam penindakan sangat bagus. Apabila Polisi gagal dalam penanganan terorisme, maka TNI harus dilibatkan,” bebernya,
Apalagi, sambungnya, praktik pelibatan tentara di banyak negara sangat diberlakukan. “Saya kira sikap Komnas HAM membolehkan penindakan dengan paling serius, dengan pelibatan TNI,” tambahnya.
Namun, ucapnya, kerangka penanganan terorisme dengan pendekatan system, sesuai UU No 5 Tahun 2018, dengan melibatkan masyarakat. “Artinya institusi dalam pendekatan hukum tidak boleh bertentangan sehingga tidak tumpang tindih penegakkan hukum,” katanya.
Pakar Hukum UIN Antasari Banjarmasin Prof DR H Ahmadi Hasan mengatakan menghadapi tantangan global perlu ada pelibatan TNI dan Polri dalam pencegahan teroris.
“Hukum yang baik harus responsif dan tumbuh dalam masyarakat. Sebab itu dibutuhkan masukan dalam kalangan akademis untuk peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. “Saya mengapresiasi adanya Perpres, namun ada pasal yang belum melakukan pelibatan masyarakat,” tandasnya.
Ia berkeinginan, dalam menghadapi terorisme dapat melibatkan pesantren, tokoh masyarakat dan lainnya. “Jadi perlu ada pemahaman, jangan sampai ada pemahaman radikalisme dan terorisme. Pemahaman secara utuh akan menjadi lebih baik,” katanya.
Menurutnya, adanya pemahaman radikal dan terorisme perlu dibina, dan mereka banyak kelompok pancasilais, dan justru kita dituding sebagai kelompok intoleran. Jangan sampai tindakan yang sembrono dalam penanganan terorisme. Masyarakat harus dijadikan subjek bukan dijadikan objek,” tambahnya.
Pakar Hukum Politik UIN Antasari Jalaluddin MHum Phd menyatakan institusi negara harus bersinergi dalam penanganan terorisme, apalagi munculnya pro kontra rancangan Perpres pterhadap pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme
“ Ini serius crime terirosme, maka pelibatan masyarakat menjadi keharusan. Saat ini TNI sudah terlibat dalam penanganan terorisme. Artinya sudah diberi akses walau hanya membantu polisi,” ujarnya.
Kini, lanjutnya, problem yang muncul bahwa adanya pelanggaran HAM dan penyelesaiannya tidak jelas.
Artinya, hal yang tidak mampu dilakukan polisi, maka militer bisa terlibat dalam penanganan terorisme.
Sedang Sosiolog UINSUSKA Riau Dardiri MA mengatakan ada upaya mendorong banyak sektor dan meminimalisir peran TNI dalam penanganan terorisme. “Harusnya didorong upaya meminimalisir peran TNI dalam membantu penanganan aksi terorisme,” imbuhnya. (afdi)