Banjarmasin, BARITO – Kendati hanya sebagai Kasi Jembatan di Dinas Bina Marga, namun Marwoto salah satu saksi yang dihadirkan pada sidang gratifikasi di HSU ternyata merupakan orang kepercayaan Bupati non aktif Abdul Wahid yang kini jadi terdakwa.
Dari keterangannya dimuka persidangan, Marwoto mengaku dipercaya terdakwa
mengkoordinir pengumpulan uang fee dari para kontraktor pemenang lelang pekerjaan Bidang Binamarga Dinas PUPRP HSU.
“Di bina marga 2019 komitmen fee yang diminta 10 persen. Kalau 2020 dan 2021 13 persen, sesuai permintaan Pa Bupati,” ujar Marwoto pada sidang lanjutan, Senin (9/5).
Dipersidangan yang dipimpin hakim ketua Yusriansyah itu, Marwoto membeberkan duit yang diterima dari para kontraktor di Bina Marga sejak 2019-2021.
“Totalnya mencapai Rp18 miliar lebih,” ungkapnya.
Duit yang diterima dari kontraktor hasil komitmen fee proyek lanjut dia sebagian besar diserahkan ke Wahid selaku Bupati, sebagian lagi digunkaan untuk operasional.
Rinciannya tahun 2019 sebesar Rp 4,6 Miliar. Tahun 2020 sebesar Rp 12 Miliar dan tahun 2021 sebesar Rp1,2 Miliar.
“Untuk tahun 2019 saya kasihkan kepada terdakwa melalui Abdul Latif yang merupakan ajudan pak Bupati sebesar Rp2,5 Miliar, tahun 2020 sebesar Rp 10 Miliar, sedangkan untuk tahun 2021 belum sempat,”aku saksi.
Teknis pengumpulan uang itu pun kata dia tidak sekaligus, namun dilakukan bertahap.
Baca Juga:
Sambut IKN, Konggres Borneo Raya Gelar Simposium dan Festival Budaya
Baca Juga:
Tak Kantongi Sertifikat Gada Pratama Seragam Satpam Bisa Dilucuti
“Kalau ada permintaan dari Bupati, misal Rp 2 miliar baru saya komunikasikan ke rekanan. Dikumpulkan dan diserahkan melalui perantara, saya catat dan laporkan (ke Bupati),” bebernya.
Perbuatan Marwoto tak dibantah oleh saksi lain yang juga mengetahui soal penerimaan duit komitmen fee dari kontraktor.
Termasuk Abdul Latif yang merupakan ajudan bupati selaku orang yang menyerahkan duit ke Wahid.
“Ada yang diserahkan langsung ke bupati. Ada yang saya letakkan dimeja kerja,” katanya.
Sementara dua saksi lainnya yakni Kabid di Dinas PUPRP HSU yakni Rahmani Noor dan Abraham Radi memberikan kesaksian terkait pertemuan mereka dengan terdakwa di Rumah Dinas Bupati dan dikomunikasikan terkait permintaan besaran fee sebesar 13 persen.
Lalu terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang, majelis hakim juga sempat menggali keterangan para saksi soal kepemilikan aset berupa apotek, klinik kesehatan dan rumah oleh terdakwa.
Saksi senada menyatakan mengetahui aset-aset tersebut dimiliki terdakwa setelah menjabat sebagai Bupati HSU.
Pasca memeriksa keterangan keempat saksi, majelis hakim kembali menunda persidangan untuk kembali dilanjutkan masih dengan agenda pemeriksaan saksi, Senin (16/5).
Terdakwa Abdul Wahid mantan Bupati HSU diseret kepersidangan Pengadilan Tipikor, karena diduga menerima uang fee proyek.
Sehingga Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Fahmi SH MH, mendakwa Abdul Wahid dengan sejumlah dakwaan alternatif.
Pertama Pasal 12 huruf a, pasal 11, pasal 12 huruf B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian, pasal 3 dan 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Penulis: Filarianti
Editor : Mercurius
3 comments