Banjarmasin, BARITOPOST.CO.ID – Sebagai ajudan, Abdul Latif mengaku sering disuruh pimpinannya yakni Bupati Abdul Wahid untuk menemui terdakwa Maliki Plt Kadis PUPRP Kabupaten HSU, baik di kantor maupun dirumahnya. Setelah bertemu lanjut saksi, biasanya Maliki langsung menyerahkan bungkusan yang belakangan dia ketahui berisi uang. Namun berapa jumlahnya saksi mengaku tidak tahu.
“Tugas saya hanya mengambilkan, berapa jumlahnya saya tidak tahu,” ujar saksi kepada JPU dan majelis hakim pada sidang lanjutan perkara OTT yang dilakukan KPK RI atas terdakwa Maliki Plt Kadis PUPRP Kabupaten HSU, Rabu (23/2).
Selain itu menuruts saksi ia juga pernah menerima bungkusan yang berisi uang dari saksi Mujib Rianto.
Mujib Rianto yang juga menjadi saksi mengaku memang ada menyerahkan uang sebesar Rp2 miliar kepada Abdul Latif. Uang yang dibungkus kardus mie dan air meniral itu telah diambil penyiidk KPK di rumah Bupati Abdul Wahid dan kemarin diperlihatkan sebagai salah satu barang bukti.
“Selain Rp2 miliar juga ada Rp800 juta yang senuanya saya serahkan kepada Pa Abdul Wahid baik di rumah dinas maupun di kantor,” ujar Abdul Latif.
Saksi Mujib yang merupakan orang suruhan dari Marhain selaku Direktur CV Hanamas maupun Fahrioadi selaku Direktur CV Kalpataru, juga mengakui, disuruh oleh keduanya untuk menyerahkan fee kepada tedakwa Maliki, yang menurut saksi fee tersebut memang diperuntukan kepada Bupati Abdul Wahid.
Sementara saksi Abraham Radi yang waktu itu masih sebagai Kepala Seksi di bidang Cipta Karya di PUPRP Kabupaten HSU juga pernah di panggil Bupati Abdul Wahid untuk membicarakan anggaran perubahan yang sekaligus disampaikan permintaan bupati agar siapapun pemenang tender harus menyediakan fee sebesar 13 persen.
Saksi juga mengatakan bahwa untuk menyerahan fee tersebut ia lagsung berurusan dengan Abdul Wahid.
Seperti diketahui, terdakwa mantan Plt Kepala Dinas PUPRP HSU Maliki, terkena OTT KPK di Amuntai yang menyangkut pekerjaan dua proyek pengairan di daerah tersebut.
Majelis hakim yang menangani perkara ini dipimpin hakim Jamser Simanjuntak dengan di dampingi hakim ad hock A Gawie dan Arif Winarno. Pada sidang yang dilakukan secara virtual, JPU KPK dikomandoi Budi Nugroho SH. Sementara terdakwa Maliki berada di Lapas Teluk Dalam Banjarmasin.
Dalam dakwaanya JPU antara lain menyebutkan kalau terdakwa telah menerima uang dari Marhain selaku Direktur CV Hanamas sebesar Rp300 juta dan dari Direktur CV Kalpataru Fahriadi sebesar Rp240 juta . Pemberian tersebut terkait adanya dua proyek sumber daya air agar kedua perusahaan tersebut dapat mengerjakannya. Dan pembayarananya tersebut dilakukan secara bertahap.
Pemberian ini sudah diatur dalam komitmen fee antara kedua pemborong tersebut untuk mendapatkan pekerjaan atas persetujuan Bupati HSU Abdul Wahid, dimana fee yang disepakati adalah 15 persen dari pagu anggaran. Fee tersebut di peruntukan untuk Bupati dan sebagian dinikmati terdakwa sendiri.
Kedua pimpinan perusahaan yang disidang secara terpisah tersebut terpaksa menyetujui pemberian fee ini agar memperoleh pekerjaan. Proyek yang dikerjakan tersebut di tahun 2021, diantaranya ada pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah Desa Kayakah Kec Amuntai Selatan dengan nilai pagu Rp2 M yag dikerjakan CV Hanamas. Sementara CV Kalpataru ditunjuk sebagai pemenang pekerjaan DIR di Banjang dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1.555.503.400
Atas perbuatan terdakwa yang melanggar ketentuan selaku pejabat negara, JPU dalam dakwaannya pertama melanggar pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Atau kedua melanggar pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Filarianti Editor : Mercurius