Sebuah kementerian sebagai penjaga marwah moralitas kebangsaan, kini berduka. Musibah ‘tsunami’ etika menerjang lembaga ini. Tanggal 16 Maret 2019, seorang tokoh petinggi partai politik, berselingkuh dengan pejabat kementerian itu, dalam perangkap jual beli jabatan. KPK pun akhirnya mengendus, dan menangkapnya dalam sebuah OTT.
Sontak seantero negeri geger. Semua Tranding topic media menjadikan kasus ini menjadi sorotan utama. Peristiwa ini adalah kali kedua, setelah mantan petinggi kementerian itu, pada tahun 2015, ditahan KPK karena terlibat dalam pusaran korupsi.
Kemerosotan moral di negeri ini, disebabkan oleh ketidakhati-hatian dalam menahan godaan nafsu yang hobinya terpincut pada ‘dunia materi’. Suap dan korupsi adalah dua perbuatan yang kini lagi digandrungi oleh oknum pejabat, anggota legislative, penegak hukum, pengusaha, organisasi, atau lembaga lainnya.
Padahal jelas, dalam surah Al Baqarah ayat 188, Allah SWT mengingatkan :
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Rasulullah SAW, juga memberikan warning agar menjauhi perbuatan suap. Beliau bersabda :
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ
“ Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190.)
Perbuatan suap atau korupsi, menurut KPK 60 % banyak dilakukan oleh pejabat atau legislative yang dipilih oleh rakyat. Kebiasaan meraih jabatan dengan cost yang tinggi, sering bermain di areal money politic, menyuap rakyat demi meraup suara, dan hilangnya sifat negawaran, maka akan menjadi habit dan membentuk karakter diri. Akibatnya yang terpancar adalah ketidakjujuran dan melazimkan sifat koruptif.
Sebuah kebiasaan yang berlangsung terus menerus, kontinu, dan berulang-ulang akan menjadi darah daging, yang menutupi lapisan hati. Sehingga hati sebagai pengendali utama pribadi, tak lagi pandai menerima hidayah, kebenaran, aturan, dan cenderung lupa akan kematian. Hati kemudian tertutup oleh anasir dosa karena perbuatan salah yang ditumpuk-tumpuk, bak cermin yang tertutup debu, tak bisa menerima cahaya kebenaran, bisikan kabaikan, dan bayangan kemuliaan. Yang ada hanyalah perbuatan salah yang kerap dibungkus dengan citra positif dalam panggung kuasa, yang penuh simulacra, dimana realitas imitatif hadir dalam serba berpura-pura, penuh sandiwara, dan rekayasa.
Solusinya, siapapun identitas dan realitas diri kita sekarang, apapun status sosial kita, menjadi apapun kita saat ini, perlu diingatkan kembali, bahwa kehidupan ini hanyalah sesaat, temporal, penuh permainan, dan fatamorgana. Kita tidak akan membawa harta dan jabatan. Saat kematian itu tiba, yang abadi menjadi teman kita dialam kubur, hanyalah amal sholeh yang kita investasikan di jalan Allah. Tebarkanlah kebaikan dimanapun, dan kapanpun. Mari bekali diri dengan 3i, yakni ingat mati, ingat ilahi, insya Allah masuk surga bersama nabi.
Salam keren,
Penulis, muhari (pemerhati komunikasi, keagamaan, & kemasyarakatan)