Banjarmasin, BARITOPOST.CO.ID – Dalam pembelaan yang dibacakan secara pribadi,
Albertus Patarru salah satu terdakwa dugaan korupsi di PT Kodja Bahari membeberkan 25 kejanggalan jaksa yang menurutnya adalah suatu kriminalisasi terhadap dirinya.
Dengan judul reformasi menangis, Albertus membeberkan fakta dipersidangan yang menurutnya suatu kejanggalan dan patut jadi pertimbangan majelis hakim untuk membebaskannya.
Disebutkan kejanggalan jaksa di persidangam diantaranya dimulai dari penyidikan yang dilakukan jaksa seorang koordinator di Kejati Kalsel. Dimana hasil penyidikan menurut terdakwa sarat dengan rekayasa.
Kejanggalan berikutnya lanjut terdakwa, Wahyu Suparyono yang bertindak sebagai Direktur Utama Dok Kapal Bahari (DKB) tidak pernah diperiksa sama sekali.
“Padahal Wahyu yang menetapkan pemenang pekerjaan karena menjabat Pengguna Anggaran. Tapi sampai sekarang tidak pernah diperiksa dan dijadikan saksi. Ini kejanggalan yang dipertontonkan jaksa,” katanya dihadapan majelis hakim yang diketua I Gede Yuliartha, pada sidang, Selasa (16/5).
Berikutnya, Pattaru kemudian mengatakan kalau dokumen yang disita jaksa dari konsultan pengawas sebanyak 60 dokumen belum divalidasi oleh kejaksaan namun digunakan dalam persidangan. “Akibatnya, kesaksian konsultan pengawas tidak jujur, banyak menyembunyikan sejumlah fakta,” bebernya.
Baca Juga: Vonis Bebas Dugaan Pembunuhan di Rantau, Jaksa Nyatakan Kasasi
Berikutnya, jaksa tandasnya juga terlalu memaksakan dakwaan terutama agar dirinya dan rekannya Soeharyono (berkas terpisah) terjerat Perpres No 4 tahun 2015. Padahal jelas-jelas Perpres tersebut telah dicabut dan diganti dengan Perpres No 16 tahun 2018 yang juga sudah diundangkan.
Kesaksian konsultan juga dibuat koor seragam jawaban tidak sesuai fakta di lapangan. “Kelihatan saksi menunggu kode dari jaksa untuk menjawab. Ya seolah-olah mereka sudah diarahkam untuk menyalahkan kami,” katanya.
Sehingga melihat kenyataan itu, terdakwa mengatakan tidak ada satu buktipun untuk menjeratnya. “Karenanya saya minta majelis hakim menolak dakwaan dan tuntutan jaksa, sebab terlalu prematur di bawa ke pengadilan,” ucapnya.
Diketahui, terdakwa bersama rekannya Soeharyono dituntut 9 tahun penjara, keduanya juga didenda Rp600 juta subsidair 6 bulan kurungan badan.
Jaksa yang dikomandoi Harwanto SH menyebutkan keduanya bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana ditambah dan diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, seperti pada dakwaan primaiar.
Proyek pekerjaan yang mengalami kegagalan dimaksud adalah pembangunan proyek galangan kapal dengan pagu anggaran Rp 20 miliar lebih berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan bersumber dari APBN.
Kontrak pekerjaan dimenangkan oleh PT Lidy’s Artha Borneo milik terdakwa Lidiannor yang dipinjamkan kepada terdakwa M Saleh, dengan nilai Rp 19,4 miliar Tahun 2018.
Akibat kelalaian para terdakwa, terdapat kerugian negara hasil audit oleh BPKP Kalsel mencapai lebih dari Rp 5,7 miliar.
Penulis: Filarianti
Editor: Mercurius
Follow Google News Barito Post dan Ikuti Beritanya