Tunpang Tindih Regulasi, APEI Keluhkan Biaya Sertifikasi

by admin
0 comments 2 minutes read

Banjarmasin, BARITO – Ketua Umum Pengurus Daerah Asosiasi Profesionalis Elektrikal Indonesia Kalimantan Selatan (APEI) Kalsel, Beni Purnomo mengakui proyek kelistrikan didominasi Kementerian ESDM, ketimbang pemerintah daerah seperti instansi/dinas.

Meski begitu, APEI mengeluhkan perizinan usaha ketenagalistrikan dan usaha jasa konstruksi yang tumpang tindih, yakni Undang-Undang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Saya kira hal ini dianggap memberatkan para anggota APEI dan dikhawatirkan akan menurunkan daya saing perusahaan dan tenaga kerja dalam memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” ujar Beni Purnomo saat dikonfirmasi, Kamis (25/7/2019)

Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki masalah tumpang tindih aturan dan menyederhanakan semua perizinan.

Dengan demikian kelangsungan usaha para anggota APEI bisa bersaing dan punya daya saing di dalam negeri, terutama di daerah.

“Kalau tumpang tindih dalam pemberian sertifikasi, maka anggota harus mengeluarkan biaya tinggi, sementara pekerjaan proyek belum tentu sebanding dengan biaya pembuatan sertifikasi,” tutur pria yang hobi motor gede (moge) ini.

Senada itu, Sekretaris Umum APEI Kalsel Wakino menambahkan, tenaga di bidang ketenagalistrikan masih diperlukan dan mempunyai peluang usaha maupun peluang kerja.

Tenaga yang bersertifikat kompetensi di Kalsel sudah 400 lebih. “Peluang kerja bagi tenaga ahli seperti ini sangat diperlukan, baik didunia usaha maupun didunia kerja,” tutur pria enerjik ini.

Namun, sambung mantan Ketua AKLI Kalsel ini, aturan yang tumpang tindih seperti Sertifikat Kompetensi (Serko) yang dikeluarkan Kementerian ESDM, dan Sertifikat Keterangan Ahli (SKA) yang dikeluarkan Lembaga Pengembangan Jasan Konstruksi (LPJK) menimbulkan cost besar, sehingga anggota kewalahan ketika ikut bersaing dalam meraih pekerjaan.

“Kadang panitia lelang juga bingung saat ada persyaratan yang diminta, SKA ada dan Serko juga tercantum,” tandasnya.
Dengan kondisi demikian, Ia pun memastikan, akan mematuhi aturan sepanjang UU tersebut berlaku.

“Ya, kami menyesuaikan saja, jika ada proyek kelistikan di PLN misalnya maka dicantumkan Serko. Dan kalau ada proyek di pemerintah daerah, juga kami cantumkan SKA,” pangkasnya.

Berdasarkan catatan, Indonesia baru memiliki tenaga ahli berkompetensi dan memiliki sertifikasi sekitar 14.000, sementara sisanya merupakan tenaga terampil.

Sedikitnya terdapat sekitar 23.000 orang di Indonesia telah memiliki sertifikasi kompetensi di bidang ketenagalistrikan tenaga ahli maupun tenaga terampil. Misalkan, jika pembangunan energi listrik dalam setahun mencapai 5.000 MW, dibutuhkan sekitar 20.000 tenaga kerja yang terdiri atas 12.000 tenaga terampil, 5.000 tenaga menengah.

Sisanya, 1.000-2.000 orang merupakan tenaga ahli yang berpengalaman. Jadi, sebenarnya masih sangat minim, padahal kalau melihat kebutuhan energi listrik ideal Indonesia dalam lima tahun mendatang sebesar 35.000 MW.

(afdi)

Baca Artikel Lainnya

Tinggalkan komentar