Barabai, BARITO – Sejumlah aktivis dan Elemen Masyarakat hari ini, Senin (23/9) melakukan aksi di Lapangan Dwi Warna, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Mereka menyerukan pentingnya menjaga hutan Kalimantan khususnya Pegunungan Meratus agar bebas dari eksploitasi. Penanggungjawab Aksi, Kisworo Dwi Cahyono, mengingatkan bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Kondisi suhu rata-rata global terus naik mencapai 1 derajat celsius pada tahun 2017 dan diprediksi terus meningkat mencapai 1.5 derajat celsius dua belas tahun mendatang.
Kisworo yang merupakan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel itu menegaskan, naiknya suhu rata-rata hingga 1.5 derajat celsius akan mengakibatkan dampak yang tidak dapat dihindari terutama bagi keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain yang ada di bumi.
Serta memperkecil kesempatan untuk melakukan adaptasi. Kondisi ini sudah dalam tahap darurat iklim.
“Butuh langkah drastis dan cepat untuk menjawab krisis iklim. Untuk menghadapi perubahan iklim itu, tak ada jalan lain selain menjaga sumber daya alam, terutama hutan yang masih tersisa,” tandasnya sebelum aksi.
Dia membeberkan, Kalimantan Selatan yang masih memiliki Pegunungan Meratus bisa menjadi salah satu yang menyelamatkan dunia dari perubahan iklim global.
Untuk itulah, ujar Kisworo, pihaknya bersama elemen masyarakat melakukan aksi dalam rangka mengingatkan peran penting Pegunungan Meratus dalam menghadapi krisis iklim. Kegiatan diisi orasi, aksi teatrikal, dan pernyataan sikap.
Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan, kegiatan mereka bersamaan dengan pertemuan Climate Action Summit di New York, Amerika Serikat yang diikuti oleh perwakilan negara di seluruh dunia dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi ketua delegasi Indonesia.
Sebagai respon terhadap pertemuan tersebut, aksi Global Climate Strike yang dimotori anak muda juga dilakukan di seluruh dunia.
“Aksi ini dilakukan sebagai respon terhadap Climate Action Summit agar setiap pemimpin negara segera melakukan aksi nyata mengatasi krisis iklim . Kegiatan ini diikuti lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia, termasuk kita di Kalsel. Kalsel menjadi strategis dalam isu perubahan iklim global karena kita memiliki Pegunungan Meratus yang kontribusinya sudah sangat jelas. Kalsel misalnya tak bisa menepiskan peran Meratus. Air dan udara yang bersih yang bersumber dari Pegunungan Meratus dinikmati warga Kalsel dan daerah lain,” jelas Kisworo
Global Climate Strike dipicu oleh aksi perseorangan Greta Thurnberg, seorang pelajar Swedia, di hadapan parlemen Swedia. Dalam aksinya, Greta menuntut para pemimpin dunia untuk menghadapi perubahan iklim global dalam bentuk dan aksi nyata.
Sayangnya, ujar Kisworo, banyak pihak di Kalsel tak memahami peran penting Pegunungan Meratus.
Hingga kini misalnya, di delapan kabupaten di Kalsel yang dilewati Pegunungan Meratus kondisinya sebagian besar telah rusak parah akibat massifnya pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit.
Misalnya, dari 3, 7 juta hektar wilayah Kalsel, sebanyak 50 persen telah dibebani perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
“Karena itu lebih dari dua tahun ini, aktivis di Kalsel menyuarakan #SaveMeratus. Penyelamatan Meratus, terutama yang masih tersisa di Hulu Sungai Tengah, Kalsel, wajib dilakukan. Pemerintah di Jakarta dan di Kalsel wajib mengambil langkah nyata dalam penyelamatan Meratus. Rusaknya hutan Meratus menyebabkan matinya kehidupan dan krisis iklim,” kata Kisworo.
Menurut Koordinator Lapangan Aksi dari Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk), Rumli, aksi yang digelar kali ini juga menjadi rangkaian gerakan #SaveMeratus yang bermula dari perlawanan masyarakat terhadap izin pertambangan batu bara yang dikeluarkan Kementerian ESDM di kawasan Tabalong, Balangan, dan HST.
“Di HST sejak lama seluruh elemen masyarakat solid memertahankan Meratus di HST. Perlawanan ini jelas. Seluruh masyarakat menentang izin pertambangan batu bara di kawasan Pegunungan Meratus yang dikeluarkan Jakarta. Kalau memang benar-benar ingin memertahankan Meratus dan menjadikannya sebagai penyelamat perubahan iklim global, cabut izin pertambangan di Pegunungan Meratus,” katanya.
Menurut Ketua PW AMAN Kalsel, Yulius Tanang, masyarakat adat Dayak Meratus memiliki hubungan sangat erat dengan Pegunungan Meratus. Selain merupakan sumber kehidupan, Meratus juga menjadi sumber kebudayaan dan bagian tak terpisahkan dari kepercayaan masyarakat Dayak Meratus. Selain memiliki peran strategis bagi masyarakat Dayak Meratus, kelestarian Pegunungan Meratus juga berdampak langsung pada kawasan pertanian, wilayah desa dan kota yang ada di kaki Meratus. Karena air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat berasal dari Pegunungan Meratus.
“AMAN Kalsel mendukung gerakan yang digelar hari ini. Kami berharap pemerintah memertahankan Meratus melalui pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat melalui Perda. Dengan pengakuan itu, kami bisa maksimal menjaga Pegunungan Meratus, sehingga mampu membantu menghadapi perubahan iklim global,” katanya.tya